Oleh : Babay Sholehah
ABSTRAK
Dalam era reformasi yang terjadi di Indonesia memang
banyak mengalami perubahan mulai dari sistem politik, pasar ekonomi, aparat
penegak hukum, pergeseran tata hubungan dunia, sampai reformasi birokrasi
menjadi agenda utama dalam negeri ini. Selama satu setengah dasawarsa, hal yang
paling sering di kumandangkan dan digencarkan dalam media bahkan suatu forum masyarakat
Indonesia adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut tentang
desentralisasi, kebebasan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan penilaian Korupsi Kolusi
Nepotisme (KKN) terutama korupsi yang terjadi di pemerintahan Indonesia dan
khususnya di provinsi Banten.
Permasalahan tersebut memberikan narasi besar
sejarah bagi bangsa Indonesia yang semakin transparan pada deretan semua
kalangan, khususnya mengenai korupsi. Korupsi yang terjadi di provinsi Banten khususnya
merupakan suatu hal yang menjadi biasa dilakukan di semua golongan, terutama
pada para penguasa (pemerintahan). Padahal maksud dari reformasi birokrasi dilaksanakan sebenarnya dengan harapan dapat
menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling
sering terjadi di dalam instansi pemerintah. Namun pada kenyataannya, tindakan
korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah
dapat dinilai tinggi.
Dengan demikian, hal inilah yang perlu menjadi
tinjauan khusus dan menjadi optimisme bahwa korupsi dapat diberantas dengan
dilakukan kajian dan paparan secara mendalam oleh berbagai pihak untuk
melakukan prospek pemberantasan.
Kata
Kunci: Era Reformasi, Reformasi Birokrasi, Korupsi, Tinjauan Khusus Korupsi
PENDAHULUAN
Korupsi sudah menjadi isu ekonomi sejak era Adam
Smith, saat itu Smith mengamati bagaimana pemerintah Inggris di abad ke-18 dan
ke-19 yang sentralistis dan memiliki kekuatan monopoli atas perdagangan
internasional yang berkaitan erat dengan korupsi[1]. Baru mulai berkembang pada
saat 1980-an isu korupsi semakin populer di kalangan ekonom. Dalam ranah
teoretis, kecenderungan ini karena sejalan dengan berkembangnya subdisiplin
“ekonomi kelembagaan”. Hal ini ditandai dengan dengan diberikannya hadiah Nobel
ekonomi pada James Buchanan (1986), Ronald Coase (1991), dan Douglass North,
serta Robert Fogel (1993), atas kontribusi mereka mengintegrasikan aspek
kelembagaan dalam teori ekonomi. Perubahan paradigma juga terjadi di ranah
empiris dan kebijakan pembangunan ekonomi. Akademisi, praktisi kebijakan, dan
lembaga donor mulai berpikir bahwa korupsi adalah satu alasan utama mengapa
negara-negara berkembang menderita keterbelakangan dan ketertinggalan[2]. Sebelumnya,
ketiadaan modal fisik dan manusia untuk menjalankan pembangunan dianggap
sebagai faktor yang menyebabkan adanya negara miskin dan maju[3].
Mayoritas korupsi terjadi di negara berkembang
termasuk Indonesia. Dari survei yang dilakukan oleh Transparency International.org tahun 2012, sebuah badan independen
internasional, meriset dari 146 negara, tercatat data 10 besar negara yang
dinyatakan sebagai negara terkorup. Daftar 10 negara terkorup di dunia antara lain:
1. Azerbaijan 2. Bangladesh 3. Bolivia 4. Kamerun 5. Indonesia 6. Irak 7. Kenya
8. Nigeria 9. Pakistan 10. Rusia. Pada tingkat Asia Pasifik, negara Indonesia
adalah negara yang terkorup. Berikut adalah lima besar negara paling korup di
Asia-Pasifik, yaitu: 1. Indonesia 2. Kamboja 3. Vietnam 4. Filipina 5. India.
Pada pemberitaan media informasi republika.com pun laporan tahunan Government Watch tahun 2012 menyebutkan
bahwa sebanyak 3000 anggota legislatif DPR RI/DPRD terbukti terlibat tindak
pidana, yang 1200 diantaranya tindak pidana korupsi[4].
Skandal korupsi yang terjadi di Indonesia terkait
dengan yayasan pemerintah dana non-budgeter. Setidaknya, ada tiga kasus korupsi
besar yang pernah menyita perhatian publik dalam jangka waktu cukup panjang. Pada
tahun 1999 menyeruak kasus korupsi dana Yanatera Bulog senilai 35 miliar rupiah
yang populer disebut Skandal Bulog I. Lima tahun kemudian pada tahun 2004,
mencuat kasus penggelapan dana Asabri yang melibatkan dana 410 miliar rupiah
milik Yayasan Kesejahteraan dan Perumahan Prajurit (YKPP) Departemen
Pertahanan, yang awal mulanya terjadi pada tahun 1997. Sejak pertama kali
terbongkar pada tahun 2007 hingga sekarang, skandal serupa: kasus dana suap 100
miliar rupiah milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), Bank
Indonesia[5].
Skandal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak
hanya terjadi pada pusat pemerintahan Indonesia saja tetapi kasus tersebut
sudah menjalar pada beberapa pemerintahan-pemerintahan daerah, contoh kasus
terjadi pada Oktober 2012 lalu dalam fesbukbantennew.com di provinsi Banten
adalah korupsi pembebasan lahan kawasan Sistem
Pertanian Terpadu (Sitandu) sebesar Rp 67 miliar[6], lalu kasus serupa juga
terjadi pada tanggal 5 Maret 2013 lalu dua orang dosen menjadi tersangka kasus
dugaan korupsi pada proyek pengadaan peralatan laboratorium Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa (Untirta) bantuan dari Kemendikbud senilai Rp 49 miliar[7],
sedangkan pada tanggal 22 Maret 2013 ini terjadi kerugian Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) pada pembebasan lahan Pemerintahan kabupaten (Pemkab)
Serang akibat digunakan untuk membayar ganti rugi lahan seluas 40 hektar di
Desa Cisait, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, besarnya kurang-lebih Rp. 80
miliar, dan masih banyak kejadian lainnya kasus KKN terutama Korupsi di provinsi
Banten[8].
Dari data Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) merilis peringkat provinsi di Indonesia yang
paling berpotensi korupsi. Peringkat didasarkan pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
(IHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2011. Dalam IHP itu,
tercatat untuk 33 provinsi ditemukan kerugian negara sebesar Rp 4,1 Triliun (Rp
4.174.640.290.000) dengan sebanyak 9.703 kasus. Kerugian ini terjadi dari tahun
anggaran 2005-2011.
Berikut urutan provinsi, mulai dari yang paling
berpotensi korupsi:
1.
Provinsi DKI Jakarta dengan kerugian negara sebesar Rp
721.519.140.000 (715 kasus).
2.
Provinsi Aceh Rp 669.849.650.000 (629 kasus).
3.
Provinsi Sumatera Utara Rp 515.569.770.000 (334 kasus).
4.
Provinsi Papua Rp 476.986.970.000 (281 kasus).
5.
Provinsi Kalimantan Barat Rp 289.858.520.000 (334 kasus).
6.
Provinsi Papua Barat Rp 169.053.340.000 (514 kasus).
7.
Provinsi Sulawesi Selatan Rp 157.723.140.000 (589 kasus).
8.
Provinsi Sulawesi Tenggara Rp 139.970.570.000 (513 kasus).
9.
Provinsi Riau Rp 125.274.240.000 (348 kasus).
10.
Provinsi Bengkulu Rp 123.985.400.000 (257 kasus).
11.
Provinsi Maluku Utara Rp 114.291.160.000 (732 kasus).
12.
Provinsi Kalimantan Timur Rp 80.131.080.000 (244 kasus).
13.
Provinsi Sumatera Selatan Rp 56.487.440.000 (239 kasus).
14.
Provinsi Nusa Tenggara Barat Rp 52.825.470.000 (307 kasus).
15.
Provinsi Sulawesi Tengah Rp 52.823.110.000 (294 kasus).
16.
Provinsi Sulawesi Barat Rp 51.374.210.000 (335 kasus).
17.
Provinsi Gorontalo Rp 48.841.820.000 (203 kasus).
18.
Provinsi Maluku Rp 47.850.610.000 (326 kasus).
19.
Provinsi Nusa Tenggara Timur Rp 44.485.010.000 (219 kasus).
20.
Provinsi Jawa Barat Rp 32.437.610.000 (363 kasus).
21.
Provinsi Lampung Rp 28.460.330.000 (181 kasus).
22.
Provinsi Sumatera Barat Rp 27.456.410.000 (188 kasus)
23.
Provinsi Kalimantan Selatan Rp 22.860.180.000 (221 kasus).
24.
Provinsi Kalimantan Tengah Rp 21.453.820.000 (153 kasus).
25.
Provinsi Banten Rp 20.141.570.000 (207 kasus).
26.
Provinsi Kepulauan Riau Rp 16.194.040.000 (109 kasus).
27.
Provinsi Sulawesi Utara Rp 16.072.000.000 (227 kasus).
28.
Provinsi Jambi Rp 15.874.820.000 (172 kasus).
29.
Provinsi Jawa Timur Rp 11.424.300.000 (153 kasus).
30.
Provinsi Jawa Tengah Rp 10.439.570.000 (145 kasus).
31.
Provinsi Bali Rp 6.295.300.000 (81 kasus).
32.
Provinsi DI Yogyakarta Rp 4.712.530.000 (23 kasus).
33.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Rp 1.917.160.000 (76
kasus).
Dari data diatas menunjukkan bahwa posisi peringkat
korupsi pada provinsi Banten menempati pada urutan ke-25 dari 33 provinsi yang
ada di Indonesia[9]. Dengan demikian, maka pemberantasan korupsi harus segera
ditangani agar dapat menciptakan pemerintahan yang kuat bebas dari KKN.
PENGERTIAN KORUPSI
Apabila kita mengunjungi website merriam-webster.com dengan menulis kata corruption, definisi yang muncul adalah “immoral
conduct or practices harmful or offensive to society” atau “a sinking
to a state of low moral standards and behavior (the corruption of the upper classes eventually
led to the fall of the Roman empire)”[10]. Definisi tersebut maknanya
terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas
korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi, sosial-budaya, dan
lainnya).
Definisi lain
dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan United Nations Developement Program, adalah “the abuse of public office for private
gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan
cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku[11]. Definisi
ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang antikorupsi.
Walau demikian, definisi tersebut belum sempurna meski cukup membantu dalam
membatasi pembicaraan tentang korupsi.
Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi
atau orang lain. Menurut
Alatas, karakteristik korupsi adalah sebagai berikut: (1) Korupsi selalu
melibatkan lebih dari satu orang. (2) Secara keseluruhan, korupsi melibatkan
rahasia di antara mereka yang terlibat. (3) Korupsi mempunyai unsur tanggung
jawab bersama dan keuntungan bersama. (4) Pelaku korupsi biasanya berusaha
mengkamuflasekan perbuatannya dengan justifikasi dari aspek hukum dan
perundang-undangan. Mereka tidak berani secara terbuka berkonfrontasi dengan
hukum. (5) Orang yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan yang pasti, dan ia mampu mempengaruhi keputusan tersebut. (6)
Perbuatan korupsi melibatkan penipuan atau muslihat. (7) Korupsi melibatkan
kontradiksi dua fungsi pelakunya, sebagai pemegang jabatan publik dan sebagai
individu. (8) Korupsi mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan
kewajiban tugas [12].
Korupsi sendiri menurut Pasal 3
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 yaitu setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Korupsi yang terjadi karena adanya faktor peluang atau kesempatan
akibat lemahnya sistem perekonomian dan hukum yang ada, penegakan hukum tidak
konsisten, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, dan yang utama adalah karena
lemahnya ilmu agama serta etika.
PRINSIP EKONOMI ISLAM DALAM
KORUPSI
a. Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi
Islam
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi
Islam yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya semua memiliki pengertian
yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “social science which studies the economics
problems of people imbued with the values of Islam”[13]. Sedangkan
menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their
times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and
Sunnah as well as rooted in them”[14].
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk
memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan
ajaran-ajaran agama Islam). Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam
menurut Umer Chapra[15] adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip
Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa
yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT,
bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang
memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia
yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2.
Prinsip
khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan
perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif
sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan
universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3) gaya hidup sederhana, (4)
kebebasan manusia.
3.
Prinsip
keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari
prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber
pendapatan yang halal dan tayyib, (3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang
merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
b. Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan
misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin.
Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menegaskan yang artinya: “Telah
diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan
kemaslahahan makhluk secara mutlak”[16].
Dari ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas
bagaimana eratnya hubungan antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi
Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu
tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Secara terperinci, tujuan ekonomi
Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan
ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu,
masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi
makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta
sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara
adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan
tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil
pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman
hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan[17].
KORUPSI DAN AKIBAT YANG DITIMBULKAN
Substansi korupsi merupakan suatu tindakan
pengkhianatan terhadap amanah, sebagaimana mengandung dua unsur utama yaitu
penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum dan pengutamaan
kepentingan pribadi di atas kepentingan publik oleh aparatur negara. Dengan
demikian, korupsi ini merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri secara zalim
yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan ekonomi Islam, karena Al-Quran yang
merupakan sumber utama doktrin ekonomi Islam menyatakan, yang
artinya, “Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum diantara
manusia, lakukan secara adil…”. (Terjemahan Q.S. An-Nisa (4): 58).
Para aparatur negara, sebelum memegang jabatan
tertentu, mereka disumpah setia untuk melaksanakan tugas sesuai dengan
amanahnya, akan tetapi ketika mereka melakukan korupsi berarti mereka ungkar terhadap
janji mereka sendiri. Tindakan ini bertentangan dengan firman
Allah yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan
dimintai pertanggungjawaban”. (Terjemahan Q.S. Al-Isra’ (17): 34).
Dua ayat tersebut dengan jelas memerintahkan untuk
melaksanakan amanah, memenuhi janji dan berlaku adil. Pengkhianatan terhadap
suatu amanah dan janji merupakan satu kesalahan yang bisa dituntut di
pengadilan. Ini artinya pelaksanaan amanah dan pemenuhan janji merupakan ajaran
yang sangat penting dalam ekonomi Islam.
Dalam rangka pelaksanaan amanat oleh penguasa,
Al-Quran memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi
pelaksanaan amanat itu. Hal ini tertuang dalam (Q.S. Al-‘Ashr (103): 3) yang
memerintahkan untuk saling menasehati dalam menegakkan kebenaran. Implikasi
konkrit dari prinsip ini, rakyat bebas melakukan pengawasan terhadap penguasa
yang diwujudkan dalam bentuk kritik, nasehat dan lain-lain. Fungsi pengawasan
ini terbuka untuk siapa saja yang mau dan mampu memberikan kritik dan saran
pada penguasa. Tersedianya ruang bagi publik untuk terlibat dalam politik
secara aktif semacam ini merupakan ciri dari masyarakat yang diprofilkan Al-Quran[18].
Bahkan Al-Quran juga menyatakan dalam (Q.S. Al-Anfal
(8): 25) bahwa kehancuran suatu masyarakat (akibat dari perilaku jahat dan
zalim individu di dalamnya seperti korupsi dan lain-lain) tidak hanya akan
menimpa kepada orang-orang yang berbuat zalim, tetapi juga akan menimpa seluruh
individu dalam masyarakat itu. Dengan demikian membiarkan sebagian anggota
masyarakat melakukan korupsi, sama artinya menggali jurang kebinasaan bagi
mereka semua.
Korupsi yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam
pemerintahan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, memberikan efek negatif
terhadap perkembangan politik, birokrasi, ekonomi dan bahkan masyarakat dan
individu. Hal ini menunjukkan sikap tidak bertanggungjawabnya pemerintahan
korup tersebut terhadap tugas dan kewajibannya sebagai aparatur negara. Padahal
dalam perspektif ekonomi Islam, negara memiliki tugas dan fungsi yang luas, di
antaranya adalah tugas dan fungsi dalam bidang ekonomi, yaitu mengkurangkan
kemiskinan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan
pekerjaan, menciptakan keadilan sosio-ekonomi, menjaga stabilitas keuangan,
menegakkan hukum dan peraturan dan lain-lain[19].
Al-Quran merupakan salah satu sumber hukum utama
ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi yang menumbuhkembangkan iklim ketamakan dalam
masyarakat, menjadikan masyarakat itu bertentangan profil masyarakat yang
dikehendaki Al-Quran yaitu masyarakat yang bercirikan:
1.
Tauhidullah/mengesakan
Allah (Q.S. Al-Ikhlas (112): 1-4)
2.
Diliputi
Ukhuwah/persaudaraan (Q.S. Al-Hujurat (49): 10)
3.
Musawah/persamaan
(Q.S. Al-Hujurat (49): 13)
4.
Bersatu
dalam ikatan tali Allah (Q.S. Ali ‘Imran (3): 103)
5.
Tolong-menolong
(Q.S. Al-Maidah (5): 2)
6.
Berkeadilan
(Q.S. Al-An’am (6): 152)
7.
Musyawarah
(Q.S. Asy-Syura (42): 38)
8.
Ada tangungjawab
sosial (Q.S. Ali ‘Imran (3): 104)
9.
Berlomba
dalam kebajikan (Q.S. Al-Maidah (5): 48)
10. Toleransi (Q.S. Al-Kafirun (109): 1-6)
11. Kebebasan (Q.S. Al-Baqarah (2): 256)
12. Berwajah ramah dan anggun (Q.S.
Al-Hujurat (49): 10 dan Q.S. Al-An’am (6): 152)
13. Menegakkan dan membela kebenaran
(Q.S. Al-Maidah (5): 35)
Untuk mendukung terwujudnya profil masyarakat yang
dikehendaki Al-Quran, Islam mempunyai institusi berupa zakat yaitu dengan
menyediakan bantuan material kepada orang miskin dan pihak yang membutuhkan
lain (asnaf delapan). Bentuk lainnya adalah dengan menyediakan bantuan material
kepada anak yatim piatu, janda, orang tua dan lain-lain. Di samping itu, zakat
juga berperan sebagai ekspresi persaudaraan, goodwill, kerjasama
dan sikap toleran dalam masyarakat[20].
Dalam termonologi Al-Quran, korupsi dipersamakan
dengan fasad dalam maknanya yang luas dan umum. Kata fasad dan
derivasinya, diulang 47 kali dalam Al-Quran, dan 82 kali dalam hadits yang
terdapat dalam kitab-kitab hadits. Fasad mengandung makna yang luas, yaitu:
eksploitasi, salah urus, anarki, ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia-nyiaan,
penyimpangan moral, keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan,
dan segala bentuk perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Al-Quran dalam
menjelaskan korupsi (fasad) biasanya bersifat umum, walaupun ada juga yang
khusus, seperti ketika Al-Quran melarang semua transaksi yang melibatkan
penyuapan di dalamnya (Q.S. Al-Baqarah (2): 188).
Al-Quran juga mendorong upaya penegakan hukum yang
benar-benar memenuhi rasa keadilan (Q.S. An-Nisa (4): 135). Keadilan merupakan
unsur penting dalam materi hukum dan penegakan hukum sehingga tidak heran kalau
Al-Quran menekankan agar keadilan itu tetap ditegakkan walaupun pada kerabat,
bahkan kepada diri sendiri (Q.S. Al-An’am 6: 152). Al-Quran memandang supremasi
hukum harus benar-benar ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan harus
ditegakkan dimanapun, kapanpun, dan terhadap siapapun dengan tindakan tegas
(Q.S. Al-Baqarah (2): 286).
Dalam sejarah Islam, zaman Nabi Muhammad tidak pernah
membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau keluarganya sendiri dalam
menegakkan hukum, karena beliau memandang bahwa penegakan hukum merupakan
sesuatu yang sangat urgen dan signifikan dalam menjaga stabilitas suatu bangsa.
Dalam memperbaiki masyarakat yang telah dirasuki korupsi, Al-Quran
memperkenalkan konsepal-amru bi al-ma‘ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Ini
adalah bukti bahwa Islam sangat serius memperhatikan masalah kehidupan moral
(akhlak) manusia dalam masyarakat[21]. Anwar Harjono pun menilai bahwa konsep
amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban asasi yang dinyatakan secara
eksplisit oleh Al-Qur’an[22].
STRATEGI, PENCEGAHAN DAN PROSPEK
PEMBERANTASAN KORUPSI
Meski upaya pemberantasan korupsi gencar
dilaksanakan tetapi kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu
multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya,
yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan sehingga memberantas korupsi
bukanlah perkara yang mudah[23]. Menurut Isran, masalahnya karena pemekaran
kinerja tak memadai sehinga berpengaruh terhadap pelayanan publik[24], lemahnya
pendekatan keagamaan dan pendidikan, sosial – budaya, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, perlu dilakukan opsi langkah-langkah untuk memulai pemberantasan
korupsi[25].
a.
Pendekatan
Keagamaan dan Pendidikan
1. Mendorong para tokoh dan lembaga
agama mengeluarkan fatwa atau
opini umum terhadap para pelaku korupsi yang merugikan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad SAW: “Fa-idza ro-a minkum
munkaran, fal-yughayyirhu biyadihi, fa illam tastathi’ fa-bilisanihi, fa-illam
tastathi’ fa-biqolbihi, wa huwa adl’afu al iman”.
2. Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran/mata kuliah civic
education tentang KKN di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya
penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa yang kelak dapat melahirkan warga
Negara yang memiliki komitmen kejujuran, keadilan dan kebenaran.
3. Mendorong para akademisi untuk terus
melakukan berbagai riset (kualitatif
maupun kuantitatif) tentang kasus KKN maupun yang terkait dengan budaya dan
sosiologi korupsi.
4. Melakukan reformasi silabi pendidikan keagamaan dari yang bercorak personal
sosial morality menuju sosial morality, yakni dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan
secara lebih membumi khususnya yang terkait dengan isu KKN.
5. Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya
KKN melalui lembaga pengajian dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
6. Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang terkait
dengan bahaya korupsi bagi segenap anggota keluarga sejak usia dini. Hal ini
sejalan dengan firman Allah agar kaum muslimin menjaga keluarga dari segala
bentuk kejahatan moral dan sosial : “Qu anfusakum wa ahlikum naara (Q.S.
At-Tahrim (66): 6)”.
7. Mendorong para orangtua, tokoh dan
pimpinan masyarakat, politisi maupun pejabat untuk menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat dan birokrasi negara.
8. Mendorong setiap pemeluk agama untuk
lebih menghayati ajaran agama karena
penghayatan agama yang benar akan mencegah seseorang dari melakukan tindak
pidana korupsi maupun kejahatan lainnya. Upaya peningkatan sense of corruption melalui proses
penajaman hati/mata batin secara ‘irfani menjadi sebuah keniscayaan di masa
mendatang. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi “Sal dlamiroka”, dan “istafti
qolbaka”.
9. Para pejabat, pemimpin informal
serta para hartawan hendaknya memberikan keteladanan bagi masyarakat dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan
kekayaan yang dimiliki.
10. Para keluarga hendaknya membiasakan budaya menabung dan hidup secara
produktif – tidak konsumtif – melalui pembudayaan sistem manajemen keuangan keluarga secara proporsional dan
professional.
b.
Pendekatan
Sosial – Budaya
1. Menciptakan dan memasyarakatkan budaya malu di kalangan warga
bangsa khususnya yang terkait dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan/korupsi.
2. Masyarakat hendaknya mulai melakukan
upaya pengucilan bagi setiap
anggota masyarakat yang terbuka melakukan korupsi yakni menolak kehadiran para koruptor
untuk tampil di berbagai forum resmi baik di masyarakat maupun media massa,
kecuali bagi mereka yang sudah bertobat dijalanNya. Pengucilan melalui
medium hukum adat atau budaya lokal juga
sangat efektif untukk menimbulkan rasa jera bagi koruptor.
3. Melakukan sosialisasi secara intensif
tentang bahaya korupsi di tengah masyarakat melalu media massa.
4. Memberikan penghargaan (award) secara
tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk diteladani.
5. Menghimbau kepada segenap masyarakat
untuk segera menghentikan kebiasaan suap-menyuap,
dari hal yang bersifat administratif sampai kasus money politics.
6. Mendorong segenap anggota masyarakat
untuk segera melaporkan kepada
aparat yang berwenang tentang adanya indikasi penyalahgunaan wewenang/korupsi.
7. Menerbitkan
dan mempublikasikan berbagai
literatur, brosur/VCD keagamaan yang mengkritisi tentang bahaya korupsi.
Dan salah satu upaya yang cukup strategis dalam proses
pemberantasan korupsi adalah dengan maksimalisasi potensi institusi masjid yang
cukup banyak bertebaran di tanah air. Semakin hari makin banyak bangunan masjid
yang didirikan. Ini berarti bahwa boleh jadi kesadaran umat Islam tentang
pentingnya masjid sebagai pusat pembinaan umat semakin menjadi kenyataan.
Dengan demikian, amatlah strategis apabila upaya pemberantasan korupsi juga
melibatkan takmir atau jamaah masjid yang hampir dimiliki setiap komunitas umat
di Indonseia. Proses penyadaran melalui
media pengajian, pengkajian, khutbah Jumat serta medium dakwah lainnya yang
terkait dengan betapa bahayanya penyakit kronis yang bernama korupsi, menjadi
sangat signifikan di masa mendatang.
Para jamaah, khususnya para khatib/da’i perlu diberi
wawasan yang luas tentang tema korupsi ditinjau dari segi ajaran Islam. Bagi
para da’i, kini juga sudah tidak terlalu sulit untuk mengupas masalah korupsi,
mengingat banyaknya buku-buku rujukan tentang ini. Selain itu, kepada para
jamaah masjid atau masyarakat yang ada di lingkungan masjid perlu pula diberi
pencerahan tentang lika-liku tindakan korupsi, baik yang berskala kecil maupun
berskala besar, melalui pelatihan
antikorupsi maupun media iklan lainnya. Di samping itu, para takmir masjid sudah saatnya untuk
menerapkan sistem pengelolaan administrasi dan manajemen modern yang kondusif
bagi tereleminirnya kasus korupsi di tubuh umat Islam.
Hal ini berlaku bagi amal usaha yang dimiliki
umat/ormas Islam lainnya. Dengan demikian, budaya audit serta
sistem pengelolaan dana infak, zakat dan shadaqah, sudah saatnya dibenahi secara
accountable, tansparan dan amanah. Perintah agama Islam kepada umat
Islam untuk selalu memakmurkan masjid harus diperluas, dari sekedar meramaikan
shalat jamaah belaka menjadi memakmurkan dalam arti menjaga kemakmuran masjid dari bahaya tindak
pidana korupsi. Dengan menerapkan budaya audit serta sistem
administrasi dan manajemen modern Islami maupun upaya maksimalisasi penggalian
dan pendistribusian dana umat ke sasaran yang tepat, ini berarti umat sudah
memperluas pemaknaan tentang memakmurkan masjid itu sendiri. Sistem manajemen masjid – termasuk amal
usaha umat Islam lainnya – yang menggunakan teori ikhlas tradisional –
yang cenderung bersifat pasif – konsumtif. Hal ini sudah saatnya
ditransformasikan ke dalam sistem manajemen ikhlas professional yang
aktif – produktif.
Dengan demikian masjid telah turut serta dalam
mereduksi adanya peluang-peluang bagi tindak pidana korupsi sekaligus
mendistribusikan hartanya ke masjid, yang secara jangka panjang akan berdampak
pula pada peningkatan kesejahteraan bagi kaum dlu’afadan mustad’afin di
masyarakat sekitar masjid. Badan komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid (BKPRM)
serta Dewan Masjid Indonesia (DMI) bisa mempelopori potensi masjid yang ada
dewasa ini, bersama-sama dengan ormas Islam lainnya.
PENUTUP
Korupsi adalah salah satu permasalahan utama yang di
berbagai dunia termasuk Indonesia dan daerah-daerahnya. Korupsi yang terjadi
tidak hanya menyebabkan kemiskinan tetapi juga menyebabkan keterbelakangan dan
ketertinggalan dalam suatu negara. Mayoritas korupsi terjadi di negara
berkembang berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International.org pada tahun 2012. Lalu, pada laporan
tahunan Government Watch tahun 2012
menyebutkan bahwa sebanyak 3000 anggota legislatif DPR RI/DPRD terbukti
terlibat tindak pidana, yang 1200 diantaranya tindak pidana korupsi.
Skandal kasus korupsi yang terjadi di Indonesia pun
sudah menjalar ke pemerintahan daerah, seperti beberapa kasus korupsi yang
terjadi di provinsi Banten pada Oktober 2012 lalu tentang kejadian lahan
kawasan Sistem Pertanian Terpadu (Sitandu), pada 5 Maret 2013 yaitu dua orang
dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 22 Maret 2013 kerugian Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada
pembebasan lahan Pemerintahan kabupaten (Pemkab) Serang, dan masih banyak
kejadian lainnya yag terjadi di provinsi Banten. Kemudian tercatat pula
peringkat korupsi yang terjadi di provinsi Banten pada tahun 2011, dengan total
kerugian dalam korupsi Rp 20.141.570.000 (207 kasus) sehingga provinsi Banten
menempati peringkat ke-25 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.
Dari banyaknya kerugian akibat
korupsi yang telah terjadi di Indonesia, maka perlu melakukan upaya strategi,
pencegahan dan prospek pemberantasan korupsi dengan semangat tinggi untuk terus
melakukan pendekatan-pendekatan keagamaan dan pendidikan, sosial – sosial
budaya, dan upaya lainnya. Tapi semua ini harus dibekali pengetahuan yang
komprehensif tentang korupsi, sebab dikhawatirkan upaya yang dilakukan tidak
optimal. Oleh sebab itulah mengapa pemberantasan korupsi harus menggunakan
metode yang tepat sehingga para “pejuang
antikorupsi” harus benar-benar memahami korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Buchan, Bruce Alexander dan Lisa Hill. 2007. “From Republicanism to Liberalism:
Corruption and Empire in Enlightenment Political Thought,” dalam Perdana, Ari A. (ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] Eastery, William. 2001. “An Elusive Quest for Growth,”
dalam Perdana, Ari A. (ed.) Korupsi
Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[3] Mallaby, Sebastian. 2004. “The World’s Banker: A Story of
Failed States, Financial Crises, and the Wealth and Poverty of Nations,” dalam
Ari A. (ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[4] Sulaiman, Fatah. 2013. Hitam Putih Proses Politik dan
Demokrasi Kita, Bedah Buku Demokrasi,
Islam dan Kebantenan, 2, 1-5.
[5] Rieffel, Lex dan Dharmasaputra, Karaniya. 2009. Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah.
Jakarta: Freedom Institute.
[6] Headline. 2012. Terdakwa
Korupsi Sitandu Banten Rp 67 Miliar oleh MA Dihukum 5 Tahun Penjara, Sebelumnya
oleh Pengadilan Banten 2 Tahun, [online], available: http://www.fesbukbantennews.com/2012/10/terdakwa-korupsi-sitandu-banten-rp67-miliar-oleh-ma-dihukum-5-tahun-penjara-sebelumnya-oleh-pengadilan-banten-2-tahun/ [23 Maret 2013].
[7] Korupsi, Jejak. 2013. Jadi
Tersangka Dugaan Korupsi Rp 49 Miliar, Dosen Untirta Dijebloskan ke Penjara,
[online], available: http://www.fesbukbantennews.com/2013/03/jadi-tersangka-dugaan-korupsi-rp49-miliar-dosen-untirta-dijebloskan-ke-penjara/ [23 Maret 2013].
[8] Headline. 2013. Yasser:
Kerugian Pembebasan Lahan Puspemkab Serang Rp 80 Miliar, [online],
available: http://www.fesbukbantennews.com/2013/03/yasser-kerugian-pembebasan-lahan-puspemkab-serang-rp80-miliar/ [23 Maret 2013].
[9] Sholeh, Muhammad. 2012. Ranking provinsi terkorup di Indonesia
versi Fitra, [online], available: http://www.merdeka.com/peristiwa/ranking-provinsi-terkorup-di-indonesia-versi-fitra.html
[23 Maret 2013].
[10] http://www.merriam-webster.com/thesaurus/corruption?show=0&t=1364366223 [27 Maret
2013].
[11] Langseth, Peter et al. 1997. “The
Role of National Interity System in Fighting Corruption,” dalam Wijayanto.
(ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[12] Alatas, Syed Hussein. 1975. The Sociology of
Corruption, ed. 2. Singapore: Delta Orient Pte. Ltd.
[13] Mannan, M. Abdul. 1986. Islamic Economics; Theory and Practice.
Cambride: Houder and Stoughton Ltd.
[14] Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1991. “Islamic Economic Thought:
Foundations, Evolution and Needed Direction,” dalam Abul Hasan M. Sadeq et
al. (ed.) Development and Finance in Islamic, Petaling
Jaya: International Islamic University Press.
[15] Kholis, Nur. 2006. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam, XVI, 162-179.
[16] Al-Syatibi (t.t.), Al-Muwafaqat fi Usul Al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.
[17] Zarqa’, Anas. 1989. “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”,
dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (ed.), Readings in The Concept and
Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk
Publications.
[18] Madjid, Nurcholish. 1998. “Konsep Pengertian Akhlak Bangsa”, dalam TIM
KAHMI JAYA, Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan.
[19] Tamkin, Joni. 2002. Economic Function of The State: An Islamic
Perspective. Jurnal Usuluddin, No. 16, 80-90.
[20] Billah, Ma’sum M. 2003. Institution of Zakat and The Modern
Sosial Security System, ed. 2. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers.
[21] Ma’arif, Syafi’i Ahmad. 1996. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES.
[22] Harjono, Anwar. 1997. Perjalanan Politik Bangsa. Jakarta: Gema Insani Press.
[23] Wijayanto. 2009. Korupsi
Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[24] Noor, Isran. 2012. Mengurai “Benang Masalah” Otonomi Daerah. Perspektif Media, 4, 8-17.
[25] Muazar. 2012. Strategi
Pemberantasan Korupsi di Indonesia, [online], available: http://muazar.wordpress.com/2012/01/03/strategi-pemberantasan-korupsi-di-indonesia/ [30 Maret 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar