Selasa, 23 April 2013

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE KOLAM PENGUMPUL AIR HUJAN, SUMUR RESAPAN DAN LUBANG RESAPAN BIOPORI (DEDICATED FOR BANTEN)


Nama   : Babay Sholehah
Alamat : Jl. Jagarahayu Komp. Griya Gemilang Sakti-2 Blok.No. 19 Ciracas, Serang – Banten 42116
Tempat, tanggal lahir   Serang, 25 Februari 1992
Nama Perguruan Tinggi  : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bina Bangsa Banten
Alamat Perguruan Tinggi: Jl. Raya Serang – Jakarta Km. 3 No. 1 B, Serang                                               Banten 42121

ABSTRAK
Negara Indonesia sangat luas untuk melakukan berbagai upaya kegiatan penghidupan manusia, tetapi sungguh dilematisnya ketika daerah tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga banyak terjadi permasalahan lingkungan, baik itu tempat tinggal, ladang usaha, lalu lintas, banjir, dan sebagainya.
Permasalahan yang sedang marak terjadi di Indonesia pada saat ini dan menjadi topik utama yang menghebohkan yaitu banjir, hal ini di sebabkan karena adanya penurunan kemampuan tanah untuk meresap air sebagai akibat adanya perubahan lingkungan yang merupakan proses pembangunan sehingga di tiap daerah yang banyak merugikan diberbagai hal, mulai dari kerugian besar ladang usaha terutama petani-petani, rumah bahkan sampai lalu lintas.
Banjir yang sering terjadi di beberapa tempat di Indonesia dan khususnya di daerah perkotaan, kabupaten, kecamatan hingga desa di provinsi Banten sangat meresahkan warga setempat karena dapat mengganggu proses kegiatan keseharian warga setempat. Hal inilah yang harus menjadi perhatian khusus untuk segera diuraikan agar permasalahan yang berkepanjangan ini dapat segera terminimalisirkan secara bertahap pada setiap daerah yang pada akhirnya menemukan titik terang utuk pemerintah daerah setempat untuk segera melakukan penanganan daerahnya.
Kata Kunci: Masalah Daerah, Banjir, Banjir Banten, Penanganan,



PENDAHULUAN
            Air adalah suatu sumber daya alam yang sangat tak terbatas karena selalu dapat diperbaharui untuk proses kelangsungan hidup seluruh makhluk yang di bumi dan merupakan ciptaan Tuhan yang harus di jaga kelangsungannya agar dapat di gunakan dengan baik sebab air satu-satunya sumber utama dan aset seluruh makhluk, tanpa air makhluk hidup yang di bumi tidak akan bisa bertahan hidup lebih dari tujuh hari. Akan tetapi, air yang berlebihan juga dapat menjadi suatu perkara bahaya yang dahsyat untuk kelangsungan hidup makhluk hidup apabila tidak di tata dengan baik oleh manusia sebagaimana yang dialami seluruh negara termasuk Indonesia. Permasalahan lingkungan yang sering terjadi di negara kita hampir tiap tahunnya pada saat musim penghujan adalah banjir.
Air hujan tidak akan dapat mengalir sebagaimana mestinya apabila tidak diberi cukup peluang dan perubahan tata guna lahan daerah aliran sungai (DAS) juga sehingga memberikan pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir[1], misalnya tersumbatnya celah aliran akibat sampah, pembuatan celah aliran air dipinggir jalan terlalu kecil, urugan dan pembangunan pada alur-alur air (sungai), urugan pada cekungan tanah dalam dimana air dapat terkumpul (rawa, situ), dan pembuatan sudetan-sudetan sebagai langkah darurat, dan berbagai macam penyebab lain. Ditambah lagi dengan genangan yang diakibatkan oleh hujan di kota itu sendiri yang tidak diberi alur-alur pembuangan (drainase) atau prasarana pembuangannya yang tidak memadai atau tidak terpelihara dengan baik. Maka sebagai akibat dari semua faktor ini, elevasi air meningkat dan air menjadi banjir melewati tanggul-tanggul saluran drainase. Peningkatan elevasi muka air ini bahkan dapat merambat ke arah hulu dan melimpah ke wilayah yang lebih tinggi dari hilir akibat efek back water[2].
Banjir yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di provinsi Banten merupakan permasalahan yang kompleks sehingga mendorong berbagai pihak untuk memberikan gagasan dan mencari solusi penanggulangannya. Oleh karena itu, permasalahan yang kompleks begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem mempernyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil[3].
Berbagai pihak banyak memberikan gagasan, seperti pembangunan kanal, pengaturan pengelolaan lahan, penerapan tindakan dan teknik konservasi tanah, serta pembangunan check dam, sumur resapan, waduk resapan sampai teknologi pemindah awan (hujan). Akan tetapi, semua harus di kaji terlebih dahulu secara mendalam efek-efek yang terjadi dan modal pembiayaannya untuk mengatasi banjir tersebut. Sebab segala upaya pembangunan memiliki kelebihan dan kekurangannya.

PENGERTIAN BANJIR
Banjir adalah kondisi dimana peristiwa terbenamnya daratan karena volume air yang meningkat dan dapat didefinisikan sebagai debit ekstrim dari suatu sungai. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, pecahnya bendungan sungai atau akibat badai tropis. Banjir sebagai fenomena alam dapat menciptakan petaka bagi manusia. Intervensi manusia terhadap alam kian memperbesar petaka yang terjadi akibat banjir. Kini, banjir sudah merupakan bagian dari fenomena global yang merupakan gejala alam, ia dengan tidak begitu sulit bisa diramalkan karena menjadi bagian dari siklus iklim, tetapi ketika ia menjadi fenomena global maka ramalan banjir dapat sering meleset[4].

a.     Efek atau akibat dari banjir, yaitu[5]:
1.    Dapat merusak struktur bangunan beserta isinya termasuk jembatan, sistem pembuangan limbah, jalan raya, dan kanal;
2.    Kerusakan infrastruktur juga sering kerusakan transmisi listrik dan kadang-kadang pembangkit listrik, yang dapat mematikan daya;
3.    Dapat menyebabkan longsor;
4.    Berkurangnya pasokan makanan bagi tumbuhan, hewan dan manusia karena terisolasi oleh banjir dan;
5.    Mengakibatkan tanaman hancur/rusak;
6.    Hilangnya nyawa;
7.    Kurangnya air bersih dikombinasikan dengan kotoran manusia di perairan banjir meningkatkan risiko penyakit ditularkan melalui air, yang dapat mencakup penyakit tifus, giardia, cryptosporidium, kolera dan penyakit lainnya tergantung pada lokasi banjir;
8.    Banjir biasanya menggenangi lahan pertanian, sehingga tanah tidak bisa dijalankan dan mencegah tanaman dari yang ditanam atau dipanen, yang dapat menyebabkan kekurangan makanan baik untuk manusia dan hewan ternak;
9.    Kesulitan ekonomi akibat penurunan sementara di bidang pariwisata, membangun kembali biaya, atau kekurangan makanan menyebabkan kenaikan harga setelah efek banjir yang parah. Dampak pada mereka yang terkena dampak dapat menyebabkan kerusakan psikologis kepada para korban, khususnya kematian, luka-luka serius dan kehilangan harta.

b.    Penyebab banjir
Banjir merupakan salah satu dampak dari perbuatan manusia yang tidak peduli akan lingkungannya. Beberapa perbuatan yang dapat menyebabkan banjir adalah sebagai berikut:
1.    Membuat bangunan dan jalan tanpa menyediakan peresapan air yang cukup;
2.    Penebangan pohon yang tidak terkendali;
3.    Membuang sampah sembarangan, baik di jalan, sungai maupun danau sehingga menyebabkan aliran air menjadi tersumbat;
4.    Pengaruh pasang surut air laut;
5.    Kiriman air hujan dari pehuluan;
6.    Kerusakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), dimana daya tampung palung sungai menjadi kecil;
7.    Saluran air yang tidak berfungsi dengan baik, karena banyak yang tersumbat atau ditutup menjadi lahan rumah sehingga aliran air menjadi tersumbat atau tidak lancar;
8.    Tanah yang mempunyai daya serapan air yang buruk;
9.    Kian meluasnya permukaan tanah yang tertutup/ditutup sehingga terjadi perubahan tata air permukaan karena perubahan rona alam yang diakibatkan oleh pemukiman, industri dan pertanian;
10. Tingginya sedimentasi, yang menyebabkan sungai dan parit cepat mendangkal;
11. Permukaan air tanah yang tinggi (daerah datar). Jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air, sehingga air mengalir pada permukaan;
12. Buruknya penanganan sampah kota serta tidak memadainya infrastruktur pengendali air permukaan;
13. Perubahan/instabilitas iklim yang disertai badai tropis. Penyimpangan iklim yang disebut gejala El Nino dan La Nina, gejala ketidakteraturan dan ekstremitas cuaca. Kenaikan suhu mejadikan gejala El Nino dan La Nina menjadi dominan, dan yang mengacaukan iklim terutama di kawasan Pasifik;
14. Gelombang besar/tsunami akibat gempa bumi menyebabkan banjir pada daerah pesisir pantai pada wilayah tertentu di tanah air[4];

PROSES TERJADINYA BANJIR
Sebenarnya, banjir memiliki proses pembentuk karena banjir yang terjadi di beberapa titik daerah tidak datang begitu saja. Tetapi karena pengaruh proses, proses terjadinya banjir dapat dilihat dari tiga karakter pembentuk banjir, yaitu karakter hujan, karakter daerah tangkapan hujan, serta karakter alur pembawa aliran air ke muara. Pertama, karakter hujan tidak sekadar melihat besarnya hujan (dalam bentuk intensitas atau kelebatan hujan), namun juga lama hujan serta penyebaran hujan di daerah tangkapan. Kedua, karakter daerah tangkapan dipengaruhi oleh penutupan lahan (sifat tanah, sifat vegetasi, kerapatan infrastruktur, fungsi sistem drainase mikro)[6].
Daerah tangkapan hujan di tiga sungai utama yang bermuara di waduk Karian provinsi Banten umumnya berada pada daerah intensitas pemanfaatan lahan yang relatif tinggi, sehingga koefisien aliran permukaan cenderung besar. Ketiga, karakter alur pembawa aliran yang terdiri dari sistem mikro berupa jaringan drainase air hujan diduga kurang ideal (jumlah, kapasitas, fungsi kurang sesuai dengan beban hujan yang kebetulan juga abnormal). Masalah banjir bulan lalu menjadi semakin kompleks dengan belum tersedianya sistem makro, tetapi kemudian Kementrian Pekerjaan Umum (KPU) mengumumkan akan segera merealisasikan pembangunan waduk Karian yang berlokasi di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, pembangunan ini dilakukan untuk mengatasi banjir akibat luapan sungai Ciujung, Cidurian, Cidanau, dan sungai lainnya, serta untuk mencegah banjir yang selalu terulang di ruas tol Tangerang-Merak provinsi Banten.

PERMASALAHAN DAN PENGENDALIAN BANJIR DI BANTEN
A.   Permasalahan Banjir
Banjir terjadi di beberapa daerah di Banten karena terjadi suatu permasalahan umum, antara lain seperti, berkurangnya daerah resapan air, berkurangnya daerah penampung air, dan tempat muara air. Maka, hal tersebut dapat menambah beban terhadap sungai dan sistem pengendali banjir. Ada dua hal yang berbeda, yaitu banjir dan permasalahan banjir. Banjir, lebih banyak disebabkan oleh alam yang ada. Sementara permasalahan banjir lebih disebabkan oleh perilaku manusia yang memanfaatkan bantaran sungai dan tinggal di dataran rendah yang tidak sesuai dengan kaidah lingkungan. Ditambah lagi banyak daerah yang berubah tata ruangnya sehingga memperluas kawasan banjir, yang umumnya kini dijadikan hunian oleh masyarakat. Jadi, pada kenyataannya masyarakat sendiri yang mendatangi banjir, bukan banjir yang mendatangi masyarakat.

B.   PENGENDALIAN BANJIR BANJIR
Banjir yang terjadi di wilayah Banten mengakibatkan terganggunya sejumlah besar aktifitas masyarakat. Sejumlah infrastruktur penting menjadi rusak, demikian pula kerusakan biofisik yang diakibatkannya. Korban jiwa dan kerugian materi pun sering mengikuti setiap terjadi bencana banjir.
Oleh karena itu, perlu dilakukan rekayasa antisipasi bencana banjir, guna meminimalisir akibat dan dampak negatifnya. Rekayasa tersebut antara lain adalah:
  • Perbaikan sistem DAS dengan meningkatkan jumlah dan kualitas vegetasi penutup tanah maupun daya tampung jaringan hidrologi maupun irigasi DAS. Caranya antara lain dengan menanami kembali kawasan DAS dengan tanaman yang akarnya mampu meretensi air dan melakukan perbaikan apabila terdapat penyempitan saluran air atau jaringan hidrologi, dan melakukan konstruksi ketahanan daerah cekungan dan saluran limpahan banjir. Tindakan dalam pengelolaan DAS meliputi bidang-bidang biofisik, pemberdayaan masyarakat, dan kelembagaan. Dalam perencanaan pengendalian banjir, pemecahannya perlu ditinjau dari sudut pandang kawasan DAS, tidak dapat per daerah administratif yang ada dalam satu kawasan. Pembicaraan harus dilakukan bersama antara pemerintah propinsi, kota/ kabupaten (dinas terkait);
  • Membentuk satuan khusus untuk mengantisipasi kemungkinan datangnya banjir. Satuan khusus ini dapat terdiri dari gabungan instansi terkait seperti dinas-dinas, kecamatan, desa, TNI/Polri, Satpol PP termasuk juga melibatkan masyarakat secara aktif;
  • Menyediakan dana bencana alam setiap tahun. Perlu diketahui bahwa Indonesia termasuk salah satu negera didunia dengan persentase sekitar 10-12% dari bencana alam yang terjadi di dunia;
  • Mewaspadai gelagat sungai besar di daerah Propinsi Banten umumnya, Sungai Ciujung dan Landak serta anak-anak sungainya khususnya;
  • Mengkritisi daerah rendah di tepian sungai di Wilayah Banten;
  • Meningkatkan akan kesadaran lingkungan: Belajar dari banjir, mempelajari jenis intervensi yang dilakukan manusia yang merusak lingkungan sehingga mengganggu siklus hidrologi;
  • Merumuskan kebijakan agar penduduk hidup dalam batas-batas yang aman dari banjir, genangan;
  • Solusi global untuk mengatasi penyimpangan iklim adalah ikut membantu mengurangi emisi gas dari industri untuk mengurangi ‘efek rumah kaca’, ‘penggunaan freon’ dan sejenisnya yang dapat merusak lapisan ozon;
  • Menerapkan manajemen pengendalian tata air permukaan yang berbasis daerah aliran sungai yang memerlukan kelembagaan yang lintas sektoral dan lintas wilayah. Sejauh ini perhatian terhadap sistem manajemen seperti ini masih amat rendah. Semua sektor dan tiap wilayah bertindak sendiri untuk mengakali banjir sehingga masalahnya tidak akan pernah terselesaikan;
  • Menerapkan pendekatan manajemen wilayah dan manajemen lingkungan;
  • Karena Indonesia sedang mengalami demokratisasi di mana awal keputusan di ranah publik selalu didahului oleh program partai politik, maka lingkungan hidup seharusnya menjadi program yang penting bagi setiap partai politik;
  • Membangun komitmen mencegah atau mengatasi banjir secara berkesinambungan;
  • Air hujan di setiap rumah/bangunan tidak dialirkan ke selokan, tetapi diresap ke dalam tanah atau ke dalam sumur resapan. Dalam hal ini perlu pengaturan/ketentuan pemerintah daerah;
  • Pemberdayaan masyarakat dengan penyuluhan, kampanye, dan bimbingan tentang cinta lingkungan secara berkesinambungan, diintensifkan sebagai program pembangunan pemerintah daerah. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai fasilitator, tokoh, dan pemuka masyarakat sebagai sosok panutan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai pendamping pembangunan, dan perguruan tinggi, sebagai pengembang teknologi sangat berarti untuk melangkah bersama dalam memberdayakan peran aktif masyarakat sebagai upaya pengendalian banjir;
  • Memberikan peringatan dini banjir yang dapat dilakukan beberapa hari sampai satu hari sebelum terjadi dengan menginformasikan pada instansi terkait. Dalam hal ini dapat digunakan radar hujan yang bisa memprediksi curah hujan sesaat, sebagai bagian dalam sistem peringatan dini banjir. Bila kemungkinan banjir sudah diketahui sejak dini, maka masyarakat dan pemerintah daerah dapat bersama-sama mengantisipasinya[4].

MODEL PERLAKUAN BANJIR YANG BISA DIBERLAKUKAN DI BANTEN
Dalam penanganan banjir khususnya di daerah provinsi Banten, maka perlu juga memanajemen model/gambaran efektif agar dapat mempermudah langkah yang sebaiknya dilakukan, berikut beberapa model penanganan yang di ambil dari penanganan banjir di Jepang.
Gambar 1. Konsep Komprehensif Flood Control di Jepang[7]

Pada Gambar 1 menunjukkan bagaimana mengalirkan segera aliran limpahan banjir menuju daerah yang lebih rendah. Dari daerah pegunungan dan perbukitan diinfiltrasikan ke danau atau tanah bawah permukaan, begitu pula perumahan dan gedung-gedung di kota melimpahkan ke tempat rendah reservoir air yang telah teregulasi dengan baik.
Sebelum adanya pembangunan kota hampir semua limpahan hujan meresap ke tanah atau juga tersimpan di dalam tanah-tanah permukaan (air aquifer). Alhasil limpahan air hujan (run-off) bisa tereduksi. Namun sesudah era pembangunan kota, tanah permukaan berubah menjadi beton (konkrit), dan aspal. Hutan habis dan vegetasi berkurang berakibat run-off demikian besar tak terkendali memperburuk dampak kerusakan genangan banjir.
Adapun model lain yang bisa mengurangi kebanjiran dengan tata cara pembuatan kolam pengumpul air hujan, sumur resapan dan lubang resapan biopori[8].

A. Kolam Pengumpul Air Hujan
1. Kolam Pengumpul Air Hujan di atas Permukaan Tanah
Gambar 2. Contoh Kolam Pengumpul Air Hujan di atas Permukaan Tanah

a.    Karakteristik
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. Muka air tanah dangkal < 1 m;
  2. Jenis tanah yang mempunyai kapasitas infiltrasi rendah seperti lempung dan liat; atau
  3. Kawasan karst, rawa, dan/atau gambut.

b.    Konstruksi
  1. Membuat saluran air dari talang bangunan (dengan bahan PVC) ke dalam kolam pengumpul air hujan;
  2. Membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata,  tanah liat atau bak fiber/aluminium, dilengkapi dengan  saluran pelimpasan keluar dari kolam pengumpul air hujan; dan
  3. Membuat penutup kolam pengumpul air hujan.

c.    Pemeliharaan
  1. Membersihkan talang dan saluran air dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
  2. Melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
2. Kolam Pengumpul Air Hujan di bawah Permukaan Tanah
Gambar 3. Contoh Kolam Pengumpul Air Hujan di bawah Permukaan Tanah

a.    Karakteristik
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. Daerah bebas banjir;
  2. Muka air tanah dangkal > 2 m;
  3. Keterbatasan ruang di atas tanah; dan/atau
  4. Daerah dengan ketinggian permukaan tanah minimal di  atas 10 m di atas permukaan laut dengan luas lahan terbatas.

b.    Konstruksi
  1. Membuat saluran air (PVC) dari talang bangunan ke dalam kolam pengumpul air hujan;
  2. Membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata,  atau bak fiber/aluminium dilengkapi dengan saluran  pelimpasan keluar dari kolam pengumpul air hujan. Apabila  kolam pengumpul tersebut dimanfaatkan untuk keperluan  sehari-hari maka dapat dilengkapi dengan pompa air yang diletakkan pada permukaan tanah; dan
  3. Membuat penutup kolam pengumpul air hujan.

c.    Pemeliharaan
  1. Membersihkan talang dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
  2. Melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).










B. Sumur Resapan
1. Sumur Resapan Dangkal
Gambar 4. Contoh Sumur Resapan Dangkal Berbentuk Bulat dengan Menggunakan Talang Bangunan

a.    Karakteristik
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. Tinggi muka air tanah > 0,5 m; dan/atau
  2. Berada pada lahan yang datar dan berjarak minimum 1 m dari pondasi bangunan.
Gambar 5. Contoh Sumur Resapan Dangkal Berbentuk Bulat dengan Menggunakan Saluran Terbuka

b.    Konstruksi
  1. Sumur resapan dangkal dibuat dalam bentuk bundar atau  empat persegi dengan menggunakan batako atau bata merah atau buis beton;
  2. Sumur resapan dangkal dibuat pada kedalaman di atas  muka air tanah atau kedalaman antara 0,5 – 10 m di atas  muka air tanah dangkal dan dilengkapi dengan memasang  ijuk, koral serta pasir sebesar 25% dari volume sumur resapan dangkal;
  3. Sumur resapan dangkal dilengkapi dengan bak kontrol  yang dibangun berjarak + 50 cm dari sumur resapan dangkal yang berfungsi sebagai pengendap;
  4. Sumur resapan dangkal dan bak kontrol dilengkapi dengan  penutup yang dapat dibuat dari beton bertulang atau plat besi;
  5. Membuat saluran air dari talang rumah atau saluran air di  atas permukaan tanah untuk dimasukkan ke dalam sumur  dengan ukuran sesuai jumlah aliran. Sumur resapan yang  sumber airnya dialirkan melalui talang bangunan tidak perlu membuat bak kontrol; dan
  6. Memasang pipa pembuangan yang berfungsi sebagai  saluran limpasan jika air dalam sumur resapan sudah penuh.
c.    Pemeliharaan
  1. Membersihkan bak kontrol dan sumur resapan dangkal  dengan mengangkat filter yang berupa ijuk, koral dan pasir  pada setiap menjelang musim penghujan atau disesuaikan dengan kondisi tingkat kebersihan filter; dan/atau
  2. Melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui  kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan apabila  terdapat unsur-unsur tercemar. Parameter analisa air  tanah dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan  Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

2. Sumur Resapan Dalam
Gambar 6. Contoh Sumur Resapan Dalam

a.    Karakteristik
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. Diutamakan di daerah land subsidence dan/atau daerah genangan;
  2. Penurunan muka air tanah dalam kondisi kritis;
  3. Ketinggian muka air tanah > 4 m; dan/atau
  4. Sumur resapan dalam dapat dipadukan dengan sumur eksploitasi yang telah ada dan/atau yang akan dibuat.

b.    Konstruksi
  1. Sumur resapan dalam dibuat melalui pemboran dengan  lubang bor tegak lurus dan diameter minimal 275 mm (11 inch) untuk seluruh kedalaman;
  2. Diameter pipa lindung dan saringan minimal 150 mm (6  inch);
  3. Kedalaman sumur resapan dalam disesuaikan dengan kondisi akuifer dalam yang ada;
  4. Bibir sumur atau ujung atas pipa lindung terletak minimal  0,25 m di atas muka tanah dan dilengkapi dengan penutup pipa;
  5. Saringan sumur bor harus ditempatkan tepat pada  kedudukan akuifer yang disarankan untuk peresapan.  Apabila akuifernya mempunyai ketebalan lebih dari 3 m,  maka panjang minimal saringan yang dipasang harus 3 m, ditempatkan di bagian tengah akuifer;
  6. Ruang antara dinding lubang bor dan pipa lindung di atas  dan di bawah pembalut kerikil diinjeksi dengan lumpur  penyekat, sehingga terbentuk penyekat-penyekat setebal 3  m di bawah kerikil pembalut dan setebal minimal 2 m di atas kerikil pembalut;
  7. Ruang antara dinding lubang bor dan pipa jambang di atas  kerikil pembalut mulai dari atas lempung penyekat hingga  kedalaman 0,25 m di bawah muka tanah harus diinjeksi dengan bubur semen, sehingga terbentuk semen penyekat;
  8. Di sekeliling sumur harus dibuat lantai beton semen  dengan luas minimal 1 m2, berketebalan minimal 0,5 m  mulai 0,25 m di bawah muka tanah hingga 0,25 m di atas muka tanah;
  9. Sumur resapan dalam dilengkapi dengan 2 buah bak  kontrol yang dibuat secara bertingkat dengan  menggunakan batu bata, batako, atau cor semen secara  berhimpit berukur panjang 1 m, lebar 1,5 m, dan  kedalaman 1,5 m, dasar bak kontrol disemen; dan
  10. Bak penyaring, dibuat dengan kedalaman 1 m dan  diisi dengan pasir dengan ketebalan 25 cm, koral setebal  25 cm dan ijuk setebal 25 cm. Bak kontrol 2, dengan  kedalaman 1,5 m diisi dengan ijuk setebal 25 cm, arang  aktif setebal 25 cm, koral setebal 25 cm, dan ijuk setebal 25 cm.

c.    Pemeliharaan
  1. Membersihkan atau mengganti penyaring dari kotoran dan  endapan/lumpur yang menyumbat pada bak penyaring,  pada musim penghujan dan kemarau atau sesuai dengan keperluan; dan/atau
  2. Melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui  kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan.  Parameter analisa air tanah dapat mengacu pada Peraturan  Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

C. Lubang Resapan Biopori (LRB)

a.    Karakteristik
Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.    Daerah sekitar pemukiman, taman, halaman parkir dan sekitar pohon; dan/atau
2.    Daerah yang dilewati aliran air hujan
.
b.    Konstruksi
1.    Membuat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter  10 cm, kedalaman 100 cm atau tidak melampaui  kedalaman air tanah. Jarak pembuatan lubang resapan biopori antara 50 – 100 cm;
2.    Memperkuat mulut atau pangkal lubang dengan menggunakan:
a.       Paralon dengan diameter 10 cm, panjang minimal 10 cm; atau
b.      Adukan semen selebar 2 – 3 cm, setebal 2 cm disekeliling mulut lubang.
3.    Mengisi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal  dari dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur; dan
4.    Menutup lubang resapan biopori dengan kawat saringan.

c.       Pemeliharaan
1.    Mengisi sampah organik kedalam lubang resapan biopori;
2.    Memasukkan sampah organik secara berkala pada saat  terjadi penurunan volume sampah organik pada lubang resapan biopori; dan/atau
3.    Mengambil sampah organik yang ada dalam lubang resapan  biopori setelah menjadi kompos diperkirakan 2 – 3 bulan telah terjadi proses pelapukan.

PENUTUP
Banjir merupakan suatu permasalahan yang banyak terjadi di berbagai dunia termasuk Indonesia, banjir yang terjadi dapat menjadi masalah yang kompleks apabila terlalu banyak menimbulkan kerugian. Penyebab banjir yang terjadi di Indonesia banyak diakibatkan oleh manusia yang tidak peduli akan lingkungannya sehingga menimbulkan banyak efek dari banjir yang terjadi. Sebenarnya proses pembentuk banjir di beberapa titik daerah tidak datang begitu saja tetapi karena pengaruh proses karakter pembentuk banjir, yaitu karakter hujan, karakter daerah tangkapan hujan, serta karakter alur pembawa aliran air ke muara.
Datangnya banjir di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di provinsi Banten karena suatu permasalahan lingkungan sekitar, seperti berkurangnya daerah resapan air, berkurangnya daerah penampung air, dan tempat muara air. Maka, hal tersebut dapat menambah beban terhadap sungai dan sistem pengendali banjir, sehingga mengakibatkan terganggunya sejumlah besar aktifitas masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekayasa antisipasi bencana banjir, guna meminimalisir akibat dan dampak negatifnya, dan juga model perlakuan banjir agar dapat mempermudah langkah untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Jayadi, R. 2000. Hidrologi I (Pengenalan Hidrologi), Teknik Sipil, Vol. 3 No.2.
[2] Tusi, A. 2010. Pengembangan Sumur Resapan dan Pemanenan Air Hujan sebagai Wujud Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Banjir. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Banjir Terpadu Melalui Pemberdayaan Masyarakat, 72.
[3] ________. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas manajemen I. Kumpulan Makalah Pengendalian Banjir, 67.
[4] Hamid, A. 2006. Rekayasa Antisipasi Bencana Banjir. Seminar Rekayasa Antisipasi Bencana Banjir oleh Himpunan Mahasiswa Sipil Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura.
[5] Iyani, Anda. 2013. Pengertian Banjir, [online], available: http://id.shvoong.com/exact-sciences/architecture/2352256-pengertian-banjir/#ixzz2NsPAek00 [18 Maret 2013]
[6] Legono, Djoko. 2008. Seharusnya di Yogyakarta Tidak Tejadi Genangan Banjir, [online], available: http://persakijogja.blogdetik.com/2008/08/09/seharusnya-di-yogyakarta-tidak-terjadi-genangan-banjir/ [18 Maret 2013]
[7] Pribadi, Sugeng. 2007. Belajar Bagaimana Jepang Memerangi Banjir, [online], available: http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-04-04-Belajar-Bagaimana-Jepang-Memerangi-Banjir.shtml [20 Maret 2013]
[8] Witoelar, Rachmat. 2009. Tata Cara Pemanfaatan Air Hujan, [online], available: http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/ [20 Maret 2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar