Selasa, 23 April 2013

Akuisisi Carrefour Terhadap Alfa Retailind0

Salah satu aksi korporasi yang cukup sering dilakukan adalah pengambilalihan. Dalam istilah populernya adalah akuisisi, yaitu setiap perbuatan hukum untuk mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham dan/atau aset dari perusahaan lain . Namun menurut pengertian UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas hanya mengisyaratkan saham yang dapat diambil alih . Jadi, tidak termasuk akuisisi aset atau akuisisi bisnis lainnya.

Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan, maka direksi sebelum mengambil keputusan melakukan pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas . Sedangkan mengenai tentang pengambilalilan yang dilakukan oleh direksi diatur dalam ayat yang lain .

Proses akuisisi juga dapat dilakukan dengan melakukan pengambilalihan saham dilakukan dengan pemegang saham target secara langsung yang dilakukan dengan prinsip “bebas jual” artinya membebaskan pemagang saham menjual sahamnya dengan bebas, namun tetap ada batasannya. Batasan yang paling sering adalah Berlaku Hak Tolak Pertama, serta hanya dijual kepada warga negara Indonesia, lebih khusus lagi bagi perusahaan yang bukan perusahaan penanaman modal asing .

Beberapa Bentuk Perusahaan di Indonesia
Dalam UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang dimaksud dengan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba . Bagi Molengraaf definisi itu mungkin sedikit berbeda, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus.-menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan .

Macam-macam bentuk perusahaan di Indonesia yang terdapat pada lampiran I Keputusan Menteri Perdagangan No. 1458/Kp/XII/84 serta Bab V pasal 11 sampai dengan pasal 16 UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, adalah sebagai berikut :
1. Perusahaan Perseorangan
Perusahaan Perseorangan atau lazim disebut Perusahaan Dagang merupakan perusahaan yang didirikan oleh satu orang saja sebagai pemodal .
2. Persekutuan Firma
Persekutuan Firma ialah setiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama, kongsi, serta kerja sama .
3. Persekutuan Komanditer
Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap adalah persekutuan firma yang memiliki satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sebenarnya ada dua macam sekutu dalam CV, yakni sekutu komanditer/aktif , serta sekutu komplementer/pasif .
4. Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan .
5. Lain-lain seperti misalnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Dalam hal ini pasal 16 UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan tidak menyebutkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah BUMN. Dalam pasal 16 hanya penyebutan perusahaan di luar pasal 11-15, jadi BUMN hanya sebagai contoh di sini. BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan .
6. Perseroan Terbatas
Yang terakhir adalah Perseroan Terbatas, meskipun dalam macam-macam perusahaan di UU No. 3 tahun 1982 tidak disebutkan dalam urutan paling bawah, yakni pasal 13, namun karena ini lebih banyak disinggung porsinya di sini, maka penempatannya ditaruh di bagian terakhir. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya .

Peraturan ini mengandung arti bahwa Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang juga sebagai perkumpulan modal. Di sini juga tempat melakukan kerja sama yang menghasilkan badan hukum sebagai suatu ”artificial person” . Sebagai ”artificial person” pula, perseroan tidak mungkin memilki kehendak sehingga juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri .
Untuk keperluan itu dikenal adanya tiga organ perseroan, yaitu :
1. Direksi
2. Komisaris
3. Rapat Umum Pemegang Saham

Tinjauan tentang Pengambilalihan
Biasanya merger, konsolidasi, maupun akuisisi ditempuh oleh perusahaan-perusahaan besar guna meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan, selain itu ada beberapa tujuan yang lebih spesifik, yaitu :
1. Membeli product lines untuk melengkapi product lines dari perusahaan yang akan mengambil alih.
2. Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau lebih baik pada perusahaan yang menjadi objek pengambilalihan.
3. Memperoleh pasar atau pelanggan baru.
4. Memperoleh hak pemasaran atau hak produksi yang belum dimiliki.
5. Memperoleh kepastian atas pemasokan bahan baku yang kualitasnya baik yang dipasok perusahaan objek akuisisi.
6. Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai.
7. Mengurangi atau menghambat persaingan.
8. Mempertahankan kontinuitas bisnis.

Istilah akuisisi sendiri berasal dari bahasa Inggris ”acquisition” yang dalam sering disebut juga dengan “take over” . Yang dimaksud dengan ”acquisition” atau ”take over” tersebut ialah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain (one company taking over controlling interest in another company) . Ungkapan take over sendiri terdiri dari ”friendly take over” (akuisisi bersahabat) atau akuisisi biasa, serta “hostile take over” (akuisisi tidak bersahabat) atau sering diistilahkan sebagai pencaplokan perusahaan . Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli hak suara dari perusahaan (the firm voting stock) atau dengan kata lain membeli saham dari perusahaan tersebut .

Hal ini juga sejalan dengan pasal 125 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menerangkan bahwa pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Hal ini menguatkan bahwa akuisisi itu adalah akuisisi saham (acquisition of stock) dan bukan akuisisi aset (acquisition of assets) .

Dasar Yuridis Pengambilalihan
Dasar hukum akuisisi adalah jual beli, di mana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak milik atas saham, dan sebaliknya perusahaan terakuisisi menerima penyerahan hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Apabila saham tersebut atas nama, maka penyerahannya dilakukan dengan cessie (hak tagih) sesuai pasal 6 KUH Perdata .

Ketentuan yuridis secara umum mengenai pengambilalihan atau akuisisi yakni pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS . Namun jika pengambilalihan dilakukan melalui direksi, maka pihak yang akan mengakuisisi menyampaikan maksudnya kepada direksi perseroan yang hendak diakuisisi .

Ketentuan lanjutan dalam pasal 125 ayat (7) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih .

Larangan dalam Akusisi
Layaknya peraturan hukum yang lain, maka dalam peraturan mengenai akuisisi terdapat pula beberapa larangan terkait dengan akuisisi. Karena tidak mungkin aksi korporasi tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, dan sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi kepentingan semua pihak. Dalam UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat larangan dalam akuisisi yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan pihak-pihak sebagai berikut :
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Akusisi PT Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo Tbk
Dalam proses akuisisi ini semuanya berjalan dengan baik tanpa ada masalah yang cukup berarti. Namun ada beberapa hal menarik yang dapat ditelisik lebih lanjut, yaitu
1. Keharusan Tender Offer
Dalam Keputusan Ketua Bapepam Nomor 04/PM/2000 (Peraturan Nomor IX.H.1) tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka ditentukan adanya keharusan melakukan tender offer dalam hal melakukan akuisisi saham dari perusahan terbuka, yang ditawarkan oleh pengendali perusahaan terbuka yang baru terhadap seluruh sisa saham yang bersifat ekuitas dari perusahaan yang tersebut, kecuali efek yang dimiliki oleh pemegang saham utama atau pihak pengendali lain dari perusahaan terbuka tersebut, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam peraturan pasar modal yang khusus mengatur tentang tender offer, yaitu Peraturan Nomor IX.F.1 .

Sehubungan dengan Tender Offer, pengumuman rencana Tender Offer telah diumumkan oleh PT. Carrefour Indonesia dalam dua surat kabar harian, yaitu Bisnis Indonesia dan Investor Daily serta mengajukan Pernyataan Penawaran Tender kepada Ketua Badán Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (“BAPEPAM-LK”) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan BAPEPAM No. IX.F.1. dan Peraturan BAPEPAM No. IX.F.2.

2. Merugikan kepentingan masyarakat dalam proses pengambilalihan sesuai pasal 106 dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Kepentingan masyarakat paska akuisisi yang dilakukan PT. Carrefour terhadap PT. Alfa Retailindo Tbk terkait dengan dugaan monopoli. Pasal 28 ayat (2) UU No 5/1999 mengatur bahwa pengambilalihan saham dilarang apabila mengakibatkan terjadinya prektek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Namun ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilalihan saham yang dilarang sebagaimana Pasal 28 ayat 3 tetap merujuk pada Peraturan Pemerintah, yang sampai sekarang belum ditetapkan. Sehingga belum diketahui parameter larangan tersebut. Kemudian pengawasan yang dilakukan KPPU melalui mekanisme pre merger notification belum diatur atau ditetapkan, sedangkan untuk post merger notification diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun baik mengenai tata caranya maupun mengenai ‘nilai yang melebihi jumlah tertentu masih merujuk pada Peraturan Pemerintah, yang sampai saat ini juga belum ditetapkan.

Bila mengacu pada UU No 5/1999, parameter yang ada adalah parameter mengenai praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu penguasaan pangsa pasar melebihi 50%.
Sebagai gambaran riset Nielsen Indonesia bahwa pangsa pasar gabungan Carrefour dan Alfa hanya mencapai 6,4% untuk pangsa pasar nasional grocery, untuk 54 kategori. Dengan demikian tindakan pengambil alihan ini bukan sesuatu yang melanggar peraturan yang berlaku untuk menjadi dasar pembatalan pengambilalihan tersebut.

3. Batasan tentang harus dijual hanya kepada warga negara Indonesia, khusus bagi perusahaan yang bukan merupakan perusahaan penanaman modal asing.
Dalam kasus ini terdapat hal yang menarik mengenai batasan ini, yakni perusahaan penanaman modal asing. Terlebih dahulu ingin disebutkan definisi supermarket menurut Perpres no. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, supermarket adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran . Dalam Perpres no. 111/2007 tentang revisi daftar negatif investasi (DNI) khususnya huruf f nomor 34 menyatakan, supermarket dengan luas lantai penjualan kurang dari 1.200 m2 harus 100% modal dari dalam negeri.

Dalam akuisisi ini tidak bermasalah karena 29 gerai supermarket yang dimiliki oleh PT. Alfa Retailindo Tbk. mempunyai luas area di atas 1.200m2. Namun dalam Perpres no. 112/2007 khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf b mengenai batasan luas lantai penjualan Toko Modern menyebutkan bahwa supermarket mempunyai batasan 400 m2 sampai dengan 5.000 m2. Sehingga telah terjadi kerancuan mengenai batasan luas supermarket di Indonesia antara Perpres No. 111/2007 ataupun Perpres No.112/2007.

Kesimpulan
Dari paparan tulisan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa proses akuisisi yang dilakukan oleh PT. Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo telah berjalan dan sesuai dengan UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya pasal 125.

2. Pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat seperti yang tercantum dalam pasal 126 tidak menyiratkan indikasi yang sesuai, karena sesuai dengan riset yang dilakukan oleh AC Nielsen Indonesia, pangsa pasar gabungan Carrefour dan Alfa hanya mencapai 6,4% untuk pangsa pasar nasional grocery, untuk 54 kategori.

3. Dalam hal kaitannya dengan penanaman modal asing tidak dapat dipastikan bahwa akuisisi PT. Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo Tbk. melanggar Ketentuan huruf f Perpres No. 111/2007 tentang revisi daftar negatif investasi (DNI) atau Perpres No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern karena batasan mengenai luas area supermarket tidak jelas.

Rekomendasi
Dalam berbagai kesempatan yang ingin ditekankan adalah mengenai asas legalitas, kepastian hukum yang mendasari suatu hal. Kaitannya dengan kasus akuisisi PT. Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo ada beberapa hal yang ingin direkomendasikan, di antaranya adalah :
1. Segera bentuk Peraturan Pemerintah terhadap pasal 28 UU No. 5/1999 mengenai pengambilalihan saham yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.

2. Segera bentuk Peraturan Pemerintah terhadap pasal 29 UU No. 5/1999 mengenai penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan terkait dengan post merger notification.

Referensi :

Munir Fuady, Hukum Tentang Akuisisi, Take Over, dan LBO
Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas (UU NO.40/2007)
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan :Teori dan Contoh Kasus
Rusli Hadijan, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya
Gunawan Wijaya, SHB: Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan
Idx.co.id, PERNYATAAN PENAWARAN TENDER PT CARREFOUR INDONESIA

UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian
UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
Perpres no. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Mode

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji.

Pengaturan hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LN 1999 No. 33, TLN No. 3817) diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 Maret 2000 merubah kegiatan bisnis dari praktik monopoli yang terselubung, diam-diam dan terbuka masa orde baru menuju praktik bisnis yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 selama ini perlu dilakukan kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan kompetisi yang “sehat” dan wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam sistem ekonomi (economic system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.

Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas (free trade).

Semua ini didasarkan pada pertimbangan setelah Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (WTO) dengan diratifikasi UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization pada tanggal 2 Nopember 1994 (LN Tahun 1994 No.95, TLN No. 3564).

Pada waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing dengan “sehat“ di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi ekonomi sebagai tata ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga bertujuan untuk menjamin usaha mikro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang sama dengan usaha menengah dan usaha besar atau konglomerasi dalam perkembangan ekonomi bangsa.

Pengaturan ini melindungi konsumen dengan harga yang bersaing dan produk alternatif dengan mutu tinggi mengingat pengaturan tersebut mencakup pada bidang manufaktur, produksi, transportasi, penawaran, penyimpanan barang dan pemberian jasa-jasa.
Persaingan usaha dapat terjadi dalam negosiasi perdagangan, aturan liberalisasi pasar dan inisiatif penanaman modal asing yang berpindah-pindah dikaitkan kebijakan pemerintah di dalam negeri untuk memenangkan persaingan bagi pengusaha nasional di pasar regional dan internasional.

Persaingan yang sehat di pasar dalam negeri merupakan bagian penting “public policy” pada pembangunan ekonomi yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional yang menegaskan “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang”.

Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya.

Kompetisi yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara harus diikuti kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi badan usaha yang tidak sehat atau failit (bangkrut). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi pasar bebas agar kebijakan publik di bidang ekonomi yang merugikan kegiatan bisnis dapat dihilangkan. Akibat persaingan usaha, pengusaha dalam kegiatan bisnis melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bahkan melampaui batas-batas negara dengan melanggar perdagangan dunia. Pada era globalisasi ekonomi, kesepakatan bisnis mengubah bentuk perdagangan dunia dalam waktu singkat menjadi perkampungan global (global village). Kesepakatan ini merugikan kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin yang tidak siap menghadapi perubahan ekonomi dunia pasca dibentuknya WTO.

Globalisasi adalah upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan usaha dalam dua hal. Pertama, perdagangan antar negara menumbuhkan investasi dan produksi melewati batas-batas negara. Kegiatan yang berimplikasi persaingan, seperti praktik cross border pricing, hambatan masuk (barrier entry) dan pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua, pemerintah negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha nasional sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan memungkinkan produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur barang impor di dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri dalam rangka perdagangan dan pasar bebas.

Kebijakan persaingan usaha bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu dalam kegiatan bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan kepentingan dunia usaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, karena kebijakan persaingan usaha yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan konsumen dengan menyediakan pilihan produk baru dan menciptakan harga bersaing di antara produk tersedia untuk kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi efisiensi dalam kaitan sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan domestik untuk berpartisipasi pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama ‘dunia usaha’ melalui kegiatan ekonomi yang sehat.

B. LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Percaturan dunia usaha yang semakin kompetitif dan komparatif dalam menggaet konsumen sebanyak-banyaknya dan memperluas pemasaran tidak dapat dielakkan lagi. Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam upaya penguasaan pasar seluas-luasnya, baik di dalam maupun luar negeri. Perilaku usaha tidak sehat ini merugikan menciptakan pasar yang sehat dan adil.
Pada era Orde Baru di Indonesia, contohnya, monopoli yang dilakukan oleh Liem Sie Liong terhadap komoditi terigu, makanan fast food, semen dan kertas berjalan mulus karena taipan ini dekat dengan pusat kekuasaan, yaitu RI 1 alias Presiden Soeharto. Begitu juga halnya “Keluarga Cendana” yang menguasai tata niaga cengkeh, jeruk, bioskop dan jalan tol tidak dapat dihindarkan dengan kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru beraroma korupsi, kolusi dan nepotisme cenderung menguntungkan segelintir orang melalui ekonomi “terpusat”, yakni di tangan presiden. Praktek ketatanegaraan Indonesia saat itu menempatkan bahwa presiden tidak hanya sebagai penguasa di bidang politik dan hukum akan tetapi juga sebagai penguasa ekonomi.
Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dan kapitalis ternyata praktek monopoli juga ada. Bill Gate dengan bendera bisnis, Microsoft memonopoli pangsa pasar penjualan software atau perangkat lunak komputer yang menimbulkan protes keras dari saingan bisnisnya, karena berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis Amerika Serikat yang membuka kebebasan usaha sebesar-besarnya bagi para pengusaha.
Selama ini di dunia, dikenal tiga bentuk sistem ekonomi yang dipakai oleh setiap negara dalam kegiatan ekonomi nasionalnya. Pertama, sistem ekonomi kapitalis (capital economy system), yakni sumber daya ekonomi dialokasikan melalui mekanisme pasar. Kedua, ekonomi yang direncanakan secara terpusat (centrally planned economy) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan oleh pemerintah yang berkuasa. Ketiga, sistem ekonomi campuran (mixed economy system) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan, baik oleh pasar maupun pemerintah secara bersama-sama.

Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli (monopoly) dan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang cukup ketat. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat liberal biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberi kebebasan seluasnya kepada produsen dan konsumen untuk menentukan harga.
Monopoli yang tidak terkontrol dalam sistem ekonomi ini melahirkan monopoli pasar melalui cara praktik kartel, diskriminasi harga, pembagian pasar dan sebagainya.

Bahaya monopoli masyarakat Barat diungkapkan, “that the monopolist stops expanding output at the point where his marginal revenue and marginal cost cuves intersect”.
Monopoli ekonomi demikian tidak sehat, karena dapat mengurangi persaingan dalam kegiatan industri dan menghambat para pelaku ekonomi lainnya untuk memasuki bidang usaha tersebut. Merugikan kegiatan ekonomi atau bisnis adalah tiada persaingan usaha memungkinkan suatu perusahaan menaikkan harga semaunya di atas tingkat harga wajar, karena tidak ada produk alternatif untuk dipilih konsumen. Selain itu tidak mendorong perusahaan mencari penemuan baru, mengurangi atau menetapkan ongkos produksi yang rendah untuk barang/jasa atau memperbaiki teknologi produksi dalam persaingan dengan produk negara lain di pasar internasional dengan berlaku era globalisasi yang melibatkan “recognizing the particular genius of employee” perusahaan beroperasi di dunia tanpa melihat siapa orang atau kewarganegaraan. Keunggulan produk barang/jasa perusahaan menentukan dalam persaingan usaha antar negara dalam globalisasi ekonomi.

Penghargaan didasarkan atas karya atau produk yang hebat serta usaha untuk menciptakan kemajuan perusahaan tanpa batas dalam menghadapi persaingan bisnis.

Anthony Giddens menamakan era globalisasi ini sebagai runaway world atau dunia yang tidak terkendalikan akibat dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini diramalkan semakin tidak terkendali dalam kegiatan ekonomi, terutama saat berlakunya Asean Free Trade Agreement (AFTA) tahun 2003, Asia Pacific Economic Co-operation (APEC) tahun 2010 dan World Free Trade tahun 2020 apabila praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pemerintah tidak mengaturnya dengan baik.

Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif atau restriktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain. Tindakan diskriminatif dan restriktif dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusha negara berkembang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatnya serbuan produk barang/jasa dari negara-negara maju.

Selama ini dalam sistem ekonomi kapitalis terdapat beberapa bentuk perbuatan monopoli yang dilarang undang-undang anti monopoli.

Pertama, horizontal merger. Tindakan ini dilakukan antara dua perusahaan besar dengan merger (penggabungan usaha) untuk menguasai pasar. Semula kedua perusahaan besar bersaing merebut pasar. Hasil merger menghapuskan persaingan.

Kedua, joint monopolization. Monopoli ini tidak dilakukan oleh satu perusahaan. Dua atau lebih perusahaan dapat bekerja sama dengan kekuatan mampu menciptakan monopoli. Misalnya tiga perusahaan sendiri-sendiri tidak mampu melakukan monopoli. Merger ketiga perusahaan menimbulkan praktik monopoli dalam kegiatan bisnis.

Ketiga, predatory. Tindakan dalam kegiatan bisnis yang membuat pelaku ekonomi baru tidak dapat memasuki pasar dengan bebas atau menimbulkan kerugian kepadanya, sehingga ia tidak dapat bersaing dengan baik.

Keempat, price discrimination (diskriminasi harga). Pelaku monopoli memiliki kekuasaan dengan intensif untuk melakukan diskriminasi harga. Melalui berbagai cara, pelaku monopoli bisa memisah-misahkan pembeli dalam kelas yang belainan dan menetapkan harga dengan ongkos yang lebih besar kepada pihak yang satu daripada pihak yang lain. Para pelaku monopoli dapat melakukannya secara terbuka, misalnya dengan menawarkan harga yang relatif lebih rendah kepada anak-anak muda, pensiunan, mahasiswa, pegawai pemerintah atau menjual produk yang sama dengan merek berlainan atau model biasa dan model luks. Diskriminasi harga dapat dilakukan secara rahasia dengan menawarkan diskon lebih besar dari ongkos atau harga jual dapat dihemat para pembeli besar sebagai hasil dari jumlah penjualan. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk memaksimalkan atas benefits (keuntungan) pengusaha atau mematikan produsen lain yang
potensial menyaingi kegiatan usahanya.

Di Amerika Serikat, misalnya Undang-undang Anti Monopoli telah ada pada tahun 1890 dengan lahirnya The Sherman Antitrust Act. Undang-undang ini melarang setiap bentuk praktek monopoli atas suatu produk atau pemasaran barang dan atau jasa yang menghambat perdagangan (barrier trade) dalam kegiatan bisnis dan melindungi usaha kecil yang lemah.

Isi penting dari larangan monopoli The Sherman Act antara lain memuat masalah monopoli sebagai berikut :
Section 1 : ”Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is declared to be illegal …”.
Section 2 : “Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony …”.

Larangan praktek monopoli dalam The Sherman Act ditekankan pada penguasaan produksi dan pemasaran atas barang/jasa satu pelaku atau kelompok pelaku usaha dengan unsur larangan monopoli ini, yakni ”possesion of monopoly power in relevant market; willfull acquisition or maintenance of that power”. Artinya, kekuasaan atas monopoli merupakan hal yang penting dalam pemasaran, karena keinginan pengambilalihan atau menjaga agar kekuasaan tersebut tetap ada agar tidak ada persaingan pihak lain.

Untuk memperoleh kekuatan pasar, maka pengusaha kuat melakukan tindakan dengan menciptakan hambatan dalam perdagangan, menaikkan harga dan membatasi produk barang/jasa guna mendorong terjadi inefisiensi sehingga tindakan demikian dalam persaingan usaha yang sehat perlu dilakukan delegalisasi. Tiada persaingan perusahaan dari lain merupakan keinginan atau tujuan utama pengusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Keadaan ini menyebabkan konsumen dianggap sebagai “sapi perahan” dan bukan “raja” dalam kegiatan ekonomi. Artinya, hak konsumen untuk memperoleh harga wajar dan barang atau jasa yang baik diabaikan pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan bisnis dalam waktu singkat. Tidak jarang pengusaha mempengaruhi tingkat penawaran meraih keuntungan berlipat ganda tanpa mempedulikan tingkat kemampuan ekonomi dari konsumen yang lemah untuk memperoleh barang/jasa. Sikap monopoli para pengusaha ini didasarkan pada akses kondisi dari competititve viability.

Di dalam perkembangan dunia usaha di Amerika Serikat selanjutnya, maka para pengusaha mempunyai berbagai cara untuk menghindarkan dikenakan The Sherman Act dalam kegiatan usaha untuk memonopoli pasar. Ulah pemilik usaha ini ternyata sangat merugikan kepentingan masyarakat.
Kemudian The Clayton Act lahir tahun 1914 sebagai penyempurnaan The Sherman Act mengatasi usaha mengarah kepada praktek monopoli.

The Clayton Act memuat empat praktek illegal namun bukan dianggap melanggar hukum, yakni
(1) price discrimination atau larangan diskriminasi harga,
(2) tying and exclusive dealing contracts atau penjualan barang membuat pihak pembeli tidak dapat saling berhubungan dengan perusahaan yang lain,
(3) corporate mergers atau penggabungan perusahaan yang dapat menimbulkan monopoli, dan
(4) interlocking directorates atau menduduki jabatan dari dua perusahaan yang bersaing.

Pada tahun yang sama,
Kongres Amerika Serikat menerbitkan The Federal Trade Commision Act (FTC) untuk melakukan investigasi, dengar pendapat atau menangani kasus-kasus pelanggaran hukum antimonopoli (antitrustlaws).

Pasal 5 FTC diamandemen tahun 1938 menegaskan, “Unfair methods of competition in or affecting commerce, and unfair or deceptive acts or practices in commerce, are hereby declared unlawful” atau diterjemahkan adalah cara-cara persaingan yang tidak terbuka atau berpengaruh terhadap perdagangan dan perbuatan atau praktek-praktek tidak jujur dan penuh tipu muslihat dalam perdagangan adalah perbuatan-perbuatan bertentangan dengan hukum.

Praktek monopoli dalam kegiatan bisnis sebenarnya tidak dilarang selama posisi pasar yang bersifat monopolistik dalam suatu mekanisme pasar yang sehat diperoleh dan dipertahankan melalui kemampuan, prediksi atau kejelian bisnis yang tinggi serta tidak merugikan pihak-pihak lain sebagai sesama pelaku ekonomi.
Suatu perusahaan yang mampu melakukan inovasi dengan adanya penemuan baru, maka perusahaan tersebut mempunyai posisi dominan atau monopoli atas produk barang tersebut. Monopoli atas penemuan baru itu diperoleh suatu korporasi (perusahaan) berdasarkan pada ketentuan hukum yang mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual (HKI).
Adanya “payung hukum” demikian, monopoli mempunyai “kekuatan hukum” asalkan dalam batas-batas tertentu yang tidak merugikan bagi kepentingan pihak lain dalam kegiatan bisnis.
Demikian juga kalau terjadi suatu perusahaan yang tumbuh secara cepat dengan menawarkan kombinasi antara kualitas barang dan jasa dengan harga yang diinginkan oleh konsumen, pangsa pasarnya tumbuh dengan cepat, kemudian dapat dikatakan perusahaan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik di pihak produsen maupun pihak konsumen. Tindakan monopoli dalam batas-batas tertentu ini masih dapat ditolerir dalam aturan hukum, terutama karena dianggap tidak merugikan kepentingan konsumen untuk memperoleh barang/jasa.

Praktik monopoli yang dilarang oleh undang-undang anti monopoli adalah monopoli yang menyebabkan terjadinya penentuan pasar, pembagian pasar dan konsentrasi pasar.

Sistem ekonomi pasar adalah cara terbaik guna menghindarkan praktek monopoli, karena dalam pasar itulah terjadi persaingan sehat di antara para pelaku usaha sehingga keluar sebagai “pemenang” adalah pihak yang benar-benar terbaik, paling kuat dan paling sehat (survival of the fittest).
Pasar bebas dianggap paling mendekati keadaan atau sifat alam yang bebas dan sehat dalam persaingan usaha sehingga gangguan dalam bentuk campur tangan dari pemerintah menghambat seleksi alamiah yang sehat.

Pada era globalisasi ekonomi, keberadaan perdagangan dan pasar bebas ini tidak dapat dihindarkan dalam persaingan usaha. Kesiapan pengusaha menyambut pasar bebas diperlukan agar produk pengusaha nasional tidak kalah bersaing merebut konsumen dari negara industri lain karena mengutamakan keunggulan kualitas produk barang/jasa yang dimiliki untuk bersaing dengan suasana pasar yang betul-betul sehat.
Pasar bebas adalah suatu mekanisme dalam kegiatan ekonomi yang terinci dan terkoordinasi di bawah sadar manusia dan sektor usaha melalui sistem harga dan pasar. Mekanisme ini merupakan alat komunikasi untuk menghimpun pengetahuan dan tindakan jutaan orang yang berlainan kepentingan dan tersebar di mana-mana dalam memilih suatu produk barang dan atau jasa yang diinginkannya. Tidak ada seorang pun dengan sengaja dapat merancang pasar, namun pasar tetap dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan mekanisme yang ada. Pasar adalah suatu mekanisme pada saat pembeli dan penjual suatu komoditi mengadakan interaksi untuk menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk, sehingga harga disepakati bersama merupakan poros penyeimbang dalam mekanisme pasar yang terkendali.
Pasar demikian merupakan pasar yang dapat dioperasionalkan dengan efisien sepanjang pelaku usaha melakukannya dalam ”market in ideas”.

Pada era globalisasi ini, selera konsumen dapat berubah atau diubah dengan cepat. Umumnya “daur hidup” suatu produk barang makin lama makin pendek, karena adanya penemuan baru. Hal ini berarti dalam pasar bebas, persaingan antar perusahaan semakin tajam dan dalam prosesnya menuntut pula sistem pemasaran yang cepat dan murah atau mempengaruhi selera serta keinginan konsumen dengan tepat. Menghadapi persaingan semakin tajam, dorongan untuk memanipulasi informasi bagi konsumen oleh produsen di tanah air akan semakin besar pula dengan munculnya praktek monopoli dan oligopoli. Tuntutan peningkatan etika bisnis yang baik semakin keras. Masyarakat mengharapkan pelaku usaha bersaing sehat dengan melindungi kepentingan konsumen. Bobot reputasi usaha semakin besar dalam persaingan bisnis, apabila mampu mempertahankan dan mengembangkan produk barang/jasa berkualitas tinggi.

Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 menimbulkan persoalan pelaku usaha yakni dihadapkan undang-undang itu pada struktur dunia bisnis dibangun rejim Orde Baru, yang toleran bahkan pragmatis ditetapkan dalam kebijakan ekonomi pemerintah dalam bentuk monopoli dan oligopoli. Saat itu dunia bisnis Indonesia hanya berfungsi sebagai simpul pertemuan pelaku usaha sebagai pemburu rente (rente seeker) dan pejabat korup untuk bertujuan membangun kekuasaan. Situasi demikian berimplikasi ekonomi-politik dengan ketergantungan dunia usaha terhadap pemerintah berkuasa.
Kebijakan Pemerintah melalui Garis-garis Besar Haluan Negara bidang ekonomi waktu itu menetapkan bahwa jangka panjang dunia usaha memainkan peran sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Wajar diberikan fasilitas dan konsesi bagi pengusaha besar atau konglomerat yang berani berinvestasi berupa proteksi dan hak monopoli.

Pada perspektif industrialisasi nasional semua hal itu memperoleh pembenaran. Setiap negara yang baru muncul dalam membangun industri (infant industry) memilih untuk memproduksi barang pengganti impor dan membutuhkan proteksi pasar nasional. Industri pemula, tingkat efisiensi dan produktivitas masih rendah sehingga harga produksi cenderung mahal dan mutunya di bawah standar. Para pengusaha nasional saat itu belum mampu menciptakan dan merebut pasar (customize market), baik di dalam maupun luar negeri sehingga produk pengusaha perlu diproteksi dengan memberi kemudahan usaha. Pada jangka panjang, kebijakan ini dimaksudkan untuk mendidik dunia usaha mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan devisa ekspor dari barang/jasa dihasilkan dengan kekuatan sendiri dalam kegiatan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya, kebijakan ini menjadi salah arah. Proteksi masih tetap diberikan pada saat dunia usaha harus menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Kesadaran baru muncul ketika budaya bisnis protektif, monopolistik dan oligopolistik menyebabkan terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan semua ini berjalan lama dan secara struktural menjadi pola dunia usaha dari Orde Baru. Dampak dari pola demikian telah melahirkan pola konglomerasi secara eksesif merusak tatanan ekonomi dan menghambat tercipta demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945. Tindakan itu dilakukan dengan tidak memberikan peluang sama bagi pengusaha terutama pengusaha ekonomi lemah. Kondisi pasar yang diciptakan Orde Baru bukan pada iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien akan tetapi justru mendorong terjadi praktik monopoli dan oligopoli.
Kondisi pasar monopoli dan tidak sehat ini merugikan dalam persaingan bisnis.

Ada tiga ekses akibat pasar monopoli-oligopoli :

Pertama, praktek bisnis monopolistik-oligopolistik adalah tidak adil dan tidak seimbang dalam mendistribusikan kekayaan ekonomi melalui beban rakyat dan keuntungan transaksi ekonomi diperoleh pelaku usaha.

Kedua, praktek bisnis monopolistik dan oligopolistik menciptakan inefisiensi ekonomi.

Ketiga, akibat ekonomi dan bisnis dikelola tidak rasional dan tidak transparan.
Keputusan politik dalam kegiatan bisnis diarahkan pada keuntungan segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa.

Muara dari ketiga persoalan di atas adalah terciptanya pasar domestik yang distortif atau terganggu. Keadaan distorsi ini terjadi, baik secara sektoral, regional maupun internasional yang sangat berpengaruh pada harga dan persaingan usaha yang sehat. Akibat distorsi ini adalah sukar terdeteksi kemampuan pasar dan pelaku usaha yang sebenarnya bersaing secara fair dalam kegiatan bisnis yang keras. Selain itu, sentimen pasar menjadi kabur dan irasional sehingga tidak terkendali secara wajar yang merugikan konsumen. Pasar menurut doktrinnya untuk mengejawantahkan ordo atau tatanan ekonomi yang harmonis berubah menjadi chaos and unpredicted.

Perubahan mendasar, perlu dilakukan guna memperbaiki sistem pasar yang baik. Memperbaiki struktur pasar bukan pekerjaan yang mudah akan tetapi bukan pula sulit jika ada kesamaan persepsi dalam rangka penerapan UU No. 5 Tahun 1999 pada tiga hal.

Pertama, UU ini secara subtansif memberi kepastian hukum bahwa iklim kebebasan berusaha memuat semangat ekonomi pasar bebas dan terbuka, hak dan kepentingan semua pihak tidak dilanggar secara unfair.

Kedua, UU ini dapat melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara berbagai kekuatan ekonomi di pasar. Perlindungan dan jaminan terutama melalui “aturan main” yang transparan dan positif.

Ketiga, UU ini harus secara tegas memberikan kesempatan pelaku ekonomi lemah dapat berkembang bebas mel
akukan transformasi skala usaha ke arah yang lebih luas. Kesempatan ini seyogianya dapat dimanfaatkan oleh setiap usaha mikro, kecil dan menengah.

Sejauhmana masyarakat bisnis memperoleh persepsi yang sama pada substansi UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, undang-undang itu harus dapat menghilangkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merugikan kegiatan bisnis mengingat adanya sanksi pelanggaran usaha berupa sanksi administratif, sanksi pidana dan pidana tambahan.

Sosialisasi UU No. 5 Tahun 1999 secara intensif dilakukan tidak hanya pada lapisan masyarakat produsen (pengusaha) akan tetapi juga pada kalangan masyarakat konsumen menghindarkan terjadi peningkatan pelanggaran usaha. Pihak konsumen harus dilindungi dari produk barang/jasa para produsen yang tidak berkualitas dan merugikan masyarakat. Perlindungan usaha lemah dan konsumen diutamakan untuk menciptakan harmonisasi usaha yang sehat pada kegiatan bisnis. Implementasi undang-undang ini harus dapat pula memperbaiki kondisi pasar yang sehat dan adil bagi kegiatan bisnis di Indonesia

ANALISA KASUS TKI DI INDONESIA

ANALISA KASUS TKI DI INDONESIA
OLEH : EGA JALALUDIN, SH., MM
 
BAB I
MUKADDIMAH

A.     Latar Belakang Masalah
Sulitnya memperoleh lapangan kerja saat ini menimbulkan berbagai dampak negatif pengangguran. Mulai dari kemiskinan, hilangnya rasa percaya diri, stress dan lain-lain. Bahkan dalam skala besar, dampak negatif pengangguran juga membebani perekonomian suatu negara.
Akibat yang dirasakan tidak hanya pada angkatan kerja yang mengalami pengangguran. Dampak negatif pengangguran bahkan mempengaruhi generasi di bawahnya. Kepala keluarga yang tidak bekerja tentu sulit menghidupi keluarga terutama anaknya. Akibat yang ditimbulkan bisa kekurangan gizi maupun putus sekolah.
-       Klasifikasi Pengangguran
Pengangguran sering diklasifikasikan sebagai tidak bekerja maupun tidak bekerja secara optimal. Ada tiga bentuk pengangguran :
  • Pengangguran Terbuka. Ditujukan pada angkatan kerja yang benar-benar memang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan. Padahal adakalanya mereka telah berusaha mencari pekerjaannamun sempitnya kesempatan yang ada memunculkan jenis pengangguran ini.
  • Setengah Menganggur. Ditujukan pada seseorang yang nampaknya bekerja namun tidak optimal. Biasanya didasarkan pada jam kerja yang kurang dari semestinya. Ini bisa terjadi karena pekerjaan yang bisa dilakukan seseorang, harus dilakukan dua orang karena keterbatasan lapangan pekerjaan.
  • Pengangguran Terselubung. Hampir sama dengan setengah menganggur. Hanya saja ini juga mencakup skill seseorang yang tidak sepadan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Misalnya seorang sarjana yang terpaksa menjadi penjaga toko.
Dengan melihat kondisi diatas, nampaknya menjadi salah satu alasan kenapa pemerintah harus melakukan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia, mengingat memang bahwa kurang tersedianya lapangan kerja di Negara sendiri.
Bila melihat sejarah. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sudah ada pada tahun 1890. Pola perekrutan adalah menggunakan sistem kerja kontrak. Pola tersebut masih ditemui pada saat ini. Perusahaan pengerah tenaga kerja memperkerajkan tenaga kerja dengan sistem kontrak atau outsourching. Kini model ini makin marak. Jumlah perusahaan pengerah tenaga kerja mencapai ratusan perusahaan. Jumlah TKI yang dikirim mencapai jutaan orang.
Itu artinya persaingan. Persaingan akan melahirkan siapa yang paling kuat, pintar, trampil dan mampu beradaptasi mudah mendapat pekerjaan. Tapi sebaliknya makin banyak calon Tki yang terpinggirkan, kalah atau kurang memenuhi syarat namun punya semangat tinggi untuk mencari penghidupan di negeri lain lantaran desakan ekonomi. Kaum inilah yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri, Pemerintah Belanda pada tahun 1890 telah mengirimkan 32.986 orang TKI asal pulau Jawa ke Suriname, suatu Negara Jajajahan Belanda di Amerika Selatan. Tujuan pengiriman TKI itu adalah untuk mengganti tugas para budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada tanggal 1 Juli 1863.
Gelombang pertama pengiriman TKI i diberangkatkan dari Batavia pada 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak jauh ini singgah di Negeri Belanda dan tiba di Suriname tanggal 9 Agustus 1890.
Jumlah TKI gelombang pertama ini sebanyak 94 orang, terdiri dari 61. Gelombang kedua sebanyak 614 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwarts.
Kegiatan pengiriman TKI ini berjalan terus sejak tahun 1890 s/d 1939 hingga jumlahnya mencapai 32.986 orang dengan menggunakan 77 buah kapal laut. Dari tahun 1890 hingga tahun 1914. Rute pelayaran pengiriman TKI ke Suriname selalu singgah di Negeri Belanda.[1]
Pola seperti itu saat ini makin mudah ditemui di sekitar kita. Kantong pemasok buruh migran tidak lagi didominasi dari Jawa. Daerah lain di Indonesian yang juga tanahnya kurang subur membuat warganya kabur dan memilih meninggalkan kampung halaman. Contohnya adalah warga dari Flores. Kampung halaman yang kurang subur menjadi pemicu warga untuk merantau.
Pengiriman buruh migran ke luar negeri telah memakan waktu cukup lama. Seiring perjalanan waktu, pengiriman tenaga kerja migran selama sekian lama hingga detik ini terlihat bahwa nasib mereka selama bekerja di luar negeri selalau tersandung masalah.
Proses panjang pengiriman tenaga kerja ke luar negri meski telah berlangsung lama namun masalah belum selesai. Itu semua karena motivasi pekerja migran untuk memperbaiki kehidupan yang lebih bagus.
Mencari kesejahtraan keluar negeri meski dilalui dengan penuh rintangan, pengorbanan dan air mata adalah pilihan yang ternyata masih diminati oleh ribuan warga negera Indonesia yang berpenghasilan kecil.
Padahal pengiriman tenaga kerja ke luar negeri memiliki kaitan erat dengan harga diri suatu bangsa, dan politik luar negeri. Sayang, konsekwensi yang bersifat makro ini seringkali terabaikan manakala desakan-desakan ekonomi menjadi prioritas utama. Bahkan tidak ayal, bahwa Indonesia mengirimkan 300 orang TKI setiap harinya.[2]
Keadaan ekonomi masyarakat di negara-negara berkembang yang rendah dan banyaknya warga yang tidak memeiliki pekerjaan (termasuk Indonesia) membuat pengambil kebijakan di bidang ketenagakerjaan untuk mencari solusi cepat mengatasi pengangguran. Salah satu solusi yang dipertahankan adalah pengiriman tenaga kerja.
Masalah muncul ketika pengawas tenaga kerja lalai. Di lapangan justru terjadi pengerahan TKI secara serampangan. Pekrutmen tenaga kerja yang terburu-buru. Persiapan yang dilakukan dengan biaya murah tanpa mengindahkan konsekuensi negatif yang mungkin timbul.
Banyaknya korban yang di alami TKI di luar negeri menunjukkan bahwa Para pengusaha jasa tenaga kerja belum memberikan jaminan terhadap keselamatan TKI. Sehingga trend yang muncul adalah perusahaan pengerah tenaga kerja hanya mengejar profit semata.
Beberapa waktu yang lalu Negara kita pun dihebohkan dengan kasus yang terjadi terhadap Sumiyati, salah seorang TKI asalah NTT yang mengalami penyiksaan oleh majikannya di Arab Saudi (Madinah). Kasus ini sempat mencuat dan membuat prihatin berbagai kalangan. Sampai-sampai beberapa saat setelah kasus ini dilontarkan beberapa media, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memanggil 2 menterinya, diantaranya Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan untuk dibentuknya tim khusus guna penyelesaian kasus penyiksaan Tenaga Kerja Wanita asal NTT Sumiati, oleh majikannya di Arab Saudi.
"Saya menginstruksikan Menteri Luar Negeri dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengambil langkah yang cepat dan tepat," Ungkap Presiden SBY, Selasa (16/11)[3]
Presiden juga meminta agar kasus Sumiati ditangani secara serius dengan mengerahkan diplomasi serta meminta dibentuk tim khusus yang diberangkatkan ke Arab Saudi guna memastikan TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, mendapatkan perawatan serta pengobatan yang terbaik.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan berdasarkan informasi dari Konsulat Jenderal Indonesia di Madinah, kondisi Sumiati saat ini stabil namun mengalami luka fisik dan juga luka dalam karena penganiyaan yang luar biasa.
"Pejabat Konsulat Jenderal kita semenjak tadi malam bersama beliau dan sudah melihat secara langsung kondisinya. Konsulat kita juga sudah menunjuk seorang dokter Indonesia yang sudah berpraktek di Arab Sausi selama lima tahun untuk menjadi dokter yang mendampingi Ibu Sumiati selama perawatan," kata Marty.
Bahkan Kemenlu telah mengeluarkan kecaman keras terhadap peristiwa yang menimpa Sumiati dan pemerintah Arab Saudi pun, menurut Marty, turut mengecam dan menganggap peristiwa tersebut melanggar nilai-nilai perikemanusiaan.
Sumiati (23 th), merupakan TKI yang berasal dari Dusun Jala, Kecamatan Huu, Kabupaten Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. Dia berangkat ke Arab Saudi melalui PT Rajana Falam Putri dan tiba di Arab Saudi pada 18 Juli 2010,.
Kekerasan yang dilakukan majikan Sumiati dinilai sangat tidak manusiawi. Pihak Konsulat Jenderal Indonesia menuntut tanggung jawab penuh dari sponsor yang memberangkatkan Sumiati.[4]
Terungkapnya kasus ini bermula saat Sumiati yang diberi upah 800 real per bulan itu mendatangi rumah sakit di Madinah. Tetapi petugas rumah sakit di sana 'angkat tangan' karena luka yang dialami sangat berat. Sumiati memerlukan penanganan lebih intensif. Akhirnya, wanita berusia 23 tahun itu dirujuk ke Rumah Sakit Raja Fahd.
Luka Sumiati memang sangat parah. "Tubuhnya mengalami luka bakar di beberapa titik. Kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. Dan yang lebih parah, bibir bagian atasnya hilang," kata Miea Mirlina, petugas rumah sakit Fahd. 
Diduga, majikan wanita yang kerap melakukan kekerasan terhadap Sumiati. Dia menerima kekerasan secara berkali-kali, bahkan mengalami luka akibat setrika panas. Sumiati tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris.
Keluarga menuntut pertanggungjawaban sponsor yang memberangkatkan Sumiati. Sementara pihak rumah sakit merekomendasikan agar Sumiati menjalani operasi plastik.
Sejak mulai bekerja  pada 23 Juli 2010 Sumiati kerap menerima penyiksaan dari istri dan anak majikannya. Sumiati kemudian dirawat di RS King Fahadh, Madinah, Arab Saudi. Lukanya sangat parah, sampai-sampai bibir bagian atasnya hilang, seperti luka gunting.[5]
Kasus penganiayaan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, Sumiati binti Salam Mustapa (23), di Madinah, Arab Saudi, menyita perhatian besar bangsa Indonesia.
Namun, hanya berselang beberapa hari, cerita duka kembali terulang, bahkan lebih tragis. Tenaga kerja Indonesia, asal Cianjur, Kikim Komariah tewas disiksa majikannya di Arab Saudi dan jasadnya ditemukan di tong sampah.
Kasus lain, TKW asal Indramayu, Jawa Barat, Laila Darus meninggal di Syiria diduga akibat penganiayaan majikannya. Selain mengalami kekerasan fisik, gaji korban selama bekerja selama satu tahun sama sekali belum dibayar.
Rakyat Indonesia pun meradang, salah satu ungkapan kemarahan itu dengan terjadinya aksi demo yang diwarnai pelemparan telur busuk ke Kantor Kedubes Pemerintah Arab Saudi di Jakarta.[6]
Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH, M Hum menilai terungkap kasus yang menimpa Sumiati, Kikim dan Laila Darus ibarat fenomena gunung es, karena kasus yang tidak terungkap diperkirakan lebih banyak. [7]
"Kasus penyiksaan, pemerkosaan atau kasus lebih ringan misalnya tidak memberikan hak TKW seperti tidak membayar gaji mereka pasti banyak yang tidak terungkap ketimbang yang kita ketahui," katanya.
Hal itu terjadi karena beberapa faktor misalnya, hambatan komunikasi untuk menyampaikan pengaduan mereka, tidak tahu harus mengadu kemana serta masalah bahasa, mengingat kenyataannya sebagian TKW tidak bisa menggunakan bahasa setempat (Arab) atau Bahasa Inggris, seperti pada kasus Sumiati.
Kasus pemerkosaan, penganiayaan berat dan pembunuhan TKW bukan kali ini saja terjadi namun sudah berulang-ulang. Jika tidak di Malaysia, Hongkong, atau Singapura, peristiwa terjadi di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Qatar, atau Uni Emirat Arab.
Direktur Migrant Care, Anis Hidayah neyatakan ada beberapa negara yang masuk "zona merah" pengiriman dan penempatan TKW atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yakni Arab Saudi dan Malaysia.[8]
"Negara harus menetapkan garis merah untuk Arab Saudi dan negara tetangga kita Malaysia," katanya menegaskan dalam acara diskusi Polemik di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/11/2010).[9]
Data Depnakertrans pada 2009 menunjukan bahwa Arab Saudi merupakan salah satu negara tempat TKI terbesar di luar negeri setelah negara jiran Malaysia. Data Depnakertrans mencatat bahwa jumlah TKI yang bekerja di Arab Saudi 927.500 orang.
Menurut catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 2009, Arab Saudi merupakan negara yang paling banyak didapati TKI bermasalah (22.035 kasus). Selain kasus penyiksaan, TKI di Arab Saudi mengalami pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, serta lari dari majikan hingga meninggal dunia akibat kekerasan dan eksploitasi.
Pertanyaannya mengapa Arab Saudi diminati TKW/TKI? Penjelasan rasionalnya adalah karena iming-iming gaji besar serta bagi TKW/TKI yang latar belakang dari pesatren, maka harapan agar bisa menunaikan ibadah haji secara gratis adalah daya tarik tersendiri.

Kelebihan Hongkong
Tingginya kasus penyiksaan TKW/TKI di Arab Saudi diperkirakan beberapa faktor antara lain pandangan sosial yang melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa kelas dua, pembantu dianggap hamba, sebagian TKI masuk menggunakan visa umrah atau haji sehingga bekerja sebagai TKI ilegal, masalah bahasa serta kehidupan sosial agak tertutup.
Bandingkan dengan Hongkong misalnya, yang juga ada kasus-kasus serupa namun jauh lebih sedikit ketimbang Malaysia dan Arab Saudi namun bagi sebagian orang dianggap sebagai surga bagi TKI.
Kehidupan sosial warga TKI di sana lebih terbuka sehingga komunikasi di antara pekerja asal Indonesia sangat kental.
Lihat saja, pada Hari Minggu, ribuan pekerja wanita asal Indonesia memenuhi Victoria Park. Bagi orang yang pertama kali datang ke kawasan itu, akan sedikit bingung membedakan antara TKW yang umumnya bekerja sebagai pembantu atau "artis" karena cara berpakaian mereka sangat modis seperti wanita-wanita setempat.
Hongkong cuma mengizinkan TKW sebagai pekerja dalam rumah, misalnya bukan di pabrik karena pabrik semua di Mainland China.
Dewi, seorang TKW asal Ciamis (Jawa Barat) mengaku bahwa sudah dua tahun di sana dengan gaji sekitar empat juta rupiah per bulan. Penampilan wanita berkulit putih itu benar-benar penampilannya tidak seperti pembantu, dengan mengenakan rok mini dan sepatu boot putih mirip artis dangdut yang akan manggung.
Dewi mengaku pekerjaannya cukup ringan karena hanya membersihkan rumah serta memelihara anjing tuannya yang karena pekerjaan jarang ada di rumah.
"Victoria Park ini bisa dikatakan sebagai wadah komunikasi berbagai hal, karena kalau hari libur para TKW berkumpul di sini," ujar dia mengenai taman di tengah kota yang menjadi tempat khusus komunitas TKW setiap Hari Minggu.
Selain itu, ia memuji sikap pemerintah Hongkong dan aktivis wanitanya yang serius menangani kasus-kasus menimpa TKI di Hongkong yang jumlahnya sekitar 130.000 orang.
Beberapa aktivis pembela perempuan Hongkong yang membagi-bagikan brosur tentang cara-cara pengaduan jika mereka dirugikan para majikannya dalam tiga bahasa, bahasa Mandarin, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Dalam brosur itu juga memuat tentang berbagai hal mengenai saksi sesuai hukum yang berlaku di Hongkong terhadap majikan yang melakukan pelanggaran termasuk mengenai hak-hak TKW, misalnya libur wajib pada Hari Minggu.
Sebaliknya, TKW di Arab Saudi lebih tertutup karena mereka harus bekerja dalam sebuah lingkungan yang juga tertutup. Biasanya hanya bisa keluar rumah jika menemani majikan ke pasar, tidak ada sebuah wadah seperti Victoria Park untuk menjalin silaturahmi dan komunikasi, atau tidak ada aktivis wanita seperti di Hongkong.
"Mengingat kasus yang menimpa para TKI ini sudah berulang-ulang maka seharusnya jadi pembelajaran berharga bagi pemerintah dalam menemukan akar masalah serta mencari jalan keluar guna menekan kasus serupa terulang lagi,"
Rakyat sangat mengharapkan agar pemerintah segera menuntaskan berbagai persoalan yang selama ini menjadi "masalah klasik TKI", dan tidak lagi bereaksi sesaat, seperti "pemadam kebakaran".
Sebaliknya pemerintah harus memiliki manajemen jelas dalam mengatasi masalah, serta mengantisipasinya atau meminimalisir kasus serupa terulang.
"Momentum Sumiati harusnya menjadi titik untuk mengubah sistem pengiriman TKW/TKI, memperkuat diplomasi luar negeri, serta menghilangkan kesan pemerintah hanya bisa berbicara tetapi tidak bisa bekerja," ujar Sarosa.[10]

B.     Perumusan Masalah
Masalah yang akan di bahasa dalam makalah ini hanya seputar kekerasan dan penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia khususnya perempuan (TKW) yang berada di Luar Negeri





BAB II
Landasan Teoritis

A.     Amanat Konstitusi
Pemerintah harus bertekad agar Sumiati jadi kasus terakhir TKW yang mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi. Selain masalah hak azasi manusia, maka pemerintah wajib menjalankan UUD 1945 seperti amanat Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
Juga Pasal 28D Ayat 1& 2, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
Pemerintah juga diamanatkan pada Pasal 28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
Menyiksa satu TKW, sama saja menyiksa 230 juta rakyat Indonesia, menistakan satu TKW sama saja menistakan warga Indonesia dari Sabang sampai Mauruke, dan memperkosa satu TKW sama saja memperkosa Ibu Pertiwi.
Pelaksanaan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia keluar negeri telah diatur sesuai Peraturan Menteri Tenga Kerja Indonesia Nomor : Per-02/Men/1994, tentang Penempatan Tenaga Kerja Di dalam dan ke Luar Negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, yang merupakan pengganti Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja Swasta dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar Kerja Antar Negara (AKAN), yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan masyarakat Indonesia.
Sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : Per-02/Men/1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, pelaksanaan penempatan tenaga kerja di luar negeri ditetapkan dalam Bab II pasal 5 tentang persyaratan kerja sebagai berikut :
a.       Instansi pemerintah atau swasta yang telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal PEmbinaan dan Penempatan Tenaga Kerja atas nama Menteri Tenaga Kerja
b.      Badan hokum lain yang telah mendapat persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja atas nama Menteri Tenaga Kerja.
c.       BKK (Bursa Kerja Khusus) yang bekerja sama dengan PJTKI.
d.      Badan usaha swasta
e.       Badan usaha yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja
Persyaratan untuk menjadi PJTKI ditetapkan dalam Bab II psl 6 sbb :
a.       Badan usaha yang memiliki SIUP PJTKI.
b.      Syarat-syarat untuk mendapat SIUP PJTKI adalah sebagai berikut :
-      Perusahaan Berbadan Hukum (P.T)
-      Modal perusahaan seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
-      Direksi dan pemilik perusahaan adalah WNI
-      Memiliki ketentuan modal disetor minimum dan dana jaminan sebagai deposito PJTKI pada Bank peserta program pengiriman tenga kerja.
-      Mempunyai referensi Bank dari bank peserta program penempatan tenaga kerja.
-      Kesanggupan untuk memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) sendiri paling lambat dalam jangka waktu 5 tahun setelah mendapat SIUP PJTKI.
-      Mempunyai proposal kegiatan perusahaan untuk jangka waktu minimal tiga tahun ke depan.
c.       Modal disetor untuk mendapatkan SIUP PJTKI ditetapkan untuk SIUP PJTKI untuk penempatan didalam dan keluar negeri sekurang-kurangnya sebesar Rp. 375.juta dan untuk SIUP PJTKI penempatan didalam negeri sebesar Rp. 100.juta.
d.      Dalam pembinaan, tanggungjawab dan peningkatan kesejahteraan karyawan perusahaan perlu membentuk koperasi karyawan yang mengurusi sekurang-kurangnya 10% dari total saham perusahaan dan menjadi sekurang-kurangnya 20% setelah lima tahun.
e.       Persyaratan teknis dan tatacara permohonan SIUP PJTKI yang diatur Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Tugas PJTKI adalah melaksanakan tugas kegiatan penempatan tenaga kerja sesuai dengan proses antar kerja baik di dalam dan ke luar negeri.
Sedangkan hak-hak PJTKI sesuai dengan pasal 11 antara lain :
a.       Menempatkan tenaga kerja di dalam dan ke luar negeri
b.      Menyediakan tenaga kerja yang diperlukan pengguna jasa baik di dalam maupun di luar negeri
c.       Memperoleh informasi pasar kerja dari dalam dan luar negeri.
d.      Memperoleh bimbingan dan pembinaan dari Departemen Tenaga Kerja.
e.       Memperoleh biaya jasa penempatan dari pengguna jasa baik dari dalam maupun dari luar negeri.
f.        Memperoleh biaya jasa penempatan dari tenaga kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
g.       Mengelola bank data tenaga kerja terampil atau berpengalaman.

B.     Pengiriman TKI Ke Luar Negeri
Pemerintah Indonesia melihat terbukanya kesempatan kerja di luar negeri dengan adanya permintaan dari Negara-negara yang mau menerima tenaga kerja Indonesia untuk dipekerjakan di negaranya dengan mutu dan jumlah yang dianggap memadai. Dengan dibekali lebih dulu suatu bentuk pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, dimulailah pelaksanaan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, yang pertama kali ke Arab Saudi pada awal tahun 1980 an. Pemerintah mulai memperhatikan peran kesempatan kerja yang tersedia di luar negeri terutama untuk menampung keinginan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Indonesia merupakan salah satu pengirim tenaga kerja yang cukup besar ke luar negeri. Dari tahun ke tahun pengiriman ini mengalami peningkatan.
C.      Jaminan Perlindungan Hukum TKI Di Luar Negeri
Perlindungan tenaga kerja ke luar negeri dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Untuk pelaksanaanya PJTKI berkewajiban memenuhi persyaratan perlindungan tenaga kerja seperti :
-       Persyaratan penempatan tenaga kerja;
-       Seleksi terhadap kualitas calon pengguna jasa tenaga kerja;
-       Kejelasan dan kepastian perlindungan hokum bagi pekerja;
-       Kepastian keikutsertaan pekerja dalam Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) dan Jaminan Kesejahteraan Tenaga Kerja atau sistem asuransi di negara penempatan tenaga kerja.
Ismail Sunni ketika menjabat duta besar Indonesia di Arab Saudi (1994), pernah memberikan komentar sehubungan dengan perlindungan TKI. Ia menegaskan bahwa secara hokum TKI sebenarnya telah mendapat perlindungan hokum karena di Kerajaan Arab Saudi menggunakan Undang-Undang Dasar sesuai Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.[11] Ada ayat-ayat yang terkandung dalak Kitab Suci Al-Quran, yang mengatur/melindungi secara hokum kepada buruh, antara lain agar seseorang tidak dibebani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuannya (QS.2:86)[12]. Dan di dalam hadits Nabi Muhammad SAW, ada perintah agar membayar gaji buruh/upah pekerja sebelum keringat mereka kering.[13]
Dalam peraturan Kerajaan Arab Saudi, yaitu dalam The Basic Law of Government pasal 17, (Basic Law 1 Maret 1992), ditetapkan bahwa : pemilikan modal, dan tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan kehidupan social kerajaan yang semuanya menerapkan hak-hak peribadi yang melayani fungsi social yang sesuai dengan syariah islam.[14]
Pasal 18, menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggu gugatnya kepemilihan pribadi. Kepemilikan pribadi tidak akan disita, kecuali untuk kepentingan umum, dan penyitaan akan dikompensasi secara wajar.[15]
Pasal 26, bahwa negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua rakyat yang sanggup dan akan menetapkan perundang-undangan untuk melindungi pekerja dan majikan.[16]
Pasal 36, menyebutkan bahwa, negara akan menjamin keamanan semua warga negara dan orang asing yang hidup dalam tempat tinggalnya. Tidak ada orang yang akan ditahan, dipenjara, atau tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh ketentuan-ketentuan hokum.[17]
Pasal 47, menyatakan bahwa warga negara dan penduduk asing keduanya mempunyai hak yang sama terhadap proses peradilan.[18]
Sementara dalam Royal Decree Nomor /M/21 tanggal 15 November 1969, mengenai Undang-Undang Perburuhan Kerajaan Arab Saudi, pasal 3 menetapkan bahwa, sebagai pengecualian pasal-pasal Undang-Undang ini tidak termasuk kepada :[19]
a.       Pekerja dalam perusahaan keluarga yang termasuk hanya anggota-anggota dari keluarga majikan;
b.      Orang yang bekerja di peternakan atau pertanian dengan pengecualian ;
b.1.orang-orang yang bekerja di perusahaan pertanian yang memproses produksinya sendiri.
b.2.Orang-orang yang bekerja secara permanen dalam operasi atau perbaikan alat mekanis yang diperlukan untuk pertanian.
c.       Pembantu domestic dan orang-orang yang dianggap seperti itu.
Dengan demikian tenaga kerja yang bekerja di negara Kerajaan Arab Saudi di luar pengecualian itu dapat termasuk dalam undang-undang perburuhan Kerajaan Arab Saudi.[20]
Jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja di Kerajaan Arab Saudi sebenarnya telah ada dan tercantum dalam perundangan, baik dalam konstitusi, Basic Law, Maupun Labour Law.
Jika perlindungan itu tidak ada, akan diusahakan perdamaian antara tenaga kerja dengan pengguna jasa, Kedutaan RI/Konsulat Jenderal RI di Arab Saudi cukup membantu dengan menyediakan tecaga pengacara secara tetap.[21]



BAB III
ANALISIS KASUS

A.     TKI dan Permasalahannya
Luar biasa hebatnya pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar negeri akhir-akhir ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri   sebagai  berita istimewa melebihi kasus mafia hukum  dan Korupsi. Berbagai elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk mendudukan permasalahan TKI ada dimana.
Melihat opini yang berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang dan cenderung memberi  vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan  yang tidak pernah berhenti  karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah memang, jika aspek hukum menjadi persoalan  yang dijadikan acuan utama. Tapi bila kita melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah persoalan lain terkait lemahnya rule of law tadi. 
Sesungguhnya, pemberitaan gencar  media massa  baik cetak maupun elektronik  yang kita lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola perlindungan hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan perlindungan TKI oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek kesuksesan bagi  sebagian besar TKI dan aspek  keuntungan Negara yang lebih luas dari sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara  ditengah kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi Negara.
Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah ‘ Dua Negara ‘ , Dimana setiap negara  ditetapkan bertanggung jawab  atas terjadinya tindakan kesalahan.  Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan  dari Negara  ?.  Sepanjang  kejadian  siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara telah  lalai dalam tanggung-jawabnya.  Hampir dipastikan  baik Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan  tidak  berfungsi efektif  memberi  pelayanan dan perlindungan TKI. 
Dalam  situasi  Negara  mengalami  situasi politik yang panas,  dan tata kelola hukum pemerintah yg lemah,  maka penyiksaan TKI harus diakui menjadi  issu strategis dilibatkan yang kemudian dipolitisir untuk melengkapi  buruknya  pengelolaan hukum Negara oleh pemerintahan yang ada.  Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan membias karena dukungan media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada kesuksesan TKI yang jauh lebih besar.
Berangkat dari sejarah penempatan TKI keluar negeri  yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian Negara terlibat melalui  UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya jaminan perlindungan  serta peningkatan kualitas,  maka penempatan TKI luar negeri  dengan sendirinya telah menjadi program nasional yang sama dengan program transmigrasi maupun pengentasan kemiskinan.  Namun dalam  implementasinya, TKI hanya menjadi subyek untuk mewajibkan mengikuti  aturan-aturan Negara  tanpa mendapat pelayanan dan perlindungan maksimal.
Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja  sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat tidak  juga bisa kita salahkan.  Fakta- fakta  yang memberi gambaran obyektif  dan langsung dari kemiskinan nyata  banyak  yang sukses menjadi   TKI didepan mata, Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi  dinegeri sendiri.  Sebuah fakta memang yang  harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan kerja dalam negeri.
Keterlibatan Negara  terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang  memberi  keuntungan,  disatu hal  terbukti membawa dampak social yg baik dan memberi  keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa.  Namun melihat kemiskinan nyata  yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar negeri  yang  kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan dalam posisi dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu memberi perlindungan optimal bagi TKI.
Pemerintah  serta  PPTKIS  sebagai  wakil Negara  dalam pelaksana penempatan  TKI  senantiasa  dihujat  sebagai biang kerok   lemahnya perlindungan  dan peningkatan kualitas TKI, karena  dituding  pemalsuan document dan sebagainya.  Tetapi  semua pihak tidak mau melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan keluarganya . Tindakan ini  terpaksa  dilakukan karena hukum  Negara  seperti pembatasan usia  minimal 21  tahun oleh  UU 39 Tahun 2004, dianggap telah membatasi hak mereka  untuk bekerja  dan  mendapat  kehidupan layak.
Bicara perlindungan  dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari  sejumlah ketentuan yang  dibuat  pemerintah. Ketentuan TKI  diwajibkan  menjalani  tahapan proses  peningkatan kualitas dan perlindungan  dalam negeri  seperti   pemeriksaan Kesehatan, BLK-LN, Paspor,  Asuransi  Pra pemberangkatan dan Asuransi pemberangkatan telah di ikuti  dan sepenuhnya dibiayai dari  dana Negara  penempatan, bukan dana APBN.  Artinya Negara penempatan cukup koperatif terkait upaya peningkatan kualitas dan perlindungan TKI. 
 Aspek lainya adalah multiple-efek, dimana  TKI memberi  masukan signifikan bagi penerbangan kita, pedagang kaki –lima disemua pos pelayaan TKI, dan miliaran rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari . Termasuk dana pembinaan dan perlindungan  sebesar 15 Dollar per TKI kepada pemerintah  sejak  25 tahun lalu yang  hingga kini tidak jelas kemana arah  pengelolaannya.  Cukup jelas begitu besar dampak positif dari program penempatan dan perlindungan TKI.  Namun, persoalan penting disini adalah keterlibatan Negara  yang belum optimal dalam peningkatan kualitas kerja dan kualitas mentalitas TKI.  Dua aspek ini cenderung  menjadi sumber masalah munculnya sejumlah kasus, apalagi pihak penggunan jasa ( majikan ) merasa telah mengeluarkan banyak anggaran.
Persoalan menjadi lain ketika muncul kasus siksaan terhadap TKI diluar negeri  oleh  sedikit orang seperti Arab Saudi misalnya, masyarakat begitu cepat bereaksi  dan menghujat suatu Negara tanpa melihat berbagai aspek lain.  Persoalan terjadi penyiksaan sebenarnya bisa dikatakan konsekwensi  resiko yang relative muncul dimana saja.  Tetapi  atas desekan kebutuhan dan pendapatan yang lebih baik, animo menjadi TKI mengalahkan resiko. TKI telah mengambil jalan sendiri  dan  tidak melihat ada kepedulian dari dalam Negeri  yang  menjamin perubahan nasib mereka.  
Adakah kita menyadari  bagaimana sulitnya rakyat miskin mempertahankan hidup dengan kemampuan sebatas  menjadi  pembantu rumah tangga, Apakah ada jaminan pemerintah untuk melahirkan peraturan mewajibkan  setiap pengguna jasa pembantu rumah tanggaa dalam negeri ditetapkan dengan gaji  mencukupi.  Adakah inisiatif  DPR RI untuk membuat UU yang lebih memberi  pelayanan dan  perlindungan dengan baik, atau adakah diantara kita mau memikirkan kemiskinan mereka, kalau bukan setelah  mereka  menjadi TKI dan disiksa, dan sederet pertanyaan lain yg menyangkut  adanya jaminan kehidupan yang layak bagi rakyat miskin.
Jika kita melihat dengan rasional yang obyektif, maka pantas kita bertanya,  bukankah Negara-Negara penempatan seperti   Negara  - Negara  Arab  dan  Negara  Asia  pasifik  lainnya telah banyak membantu perbaikan nasib sebagian rakyat kita.  Bukankah  Negara –Negara tersebut  mau menerima masyarakat kita karena melihat factor keagamaan dan kemiskinan.  Mungkinkah  TKI kita yang hanya memiliki kemampuan sebatas pembantu rumah tangga  diterima di Negara Eropa, kalau jika bukan Negara-Negara Arab. 
Sangat disayangkan oleh kita semua, jika benar persoalan TKI sekarang  telah dipolitisir oleh kepentingan politik atau  telah dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki motifasi untuk mengalihkan  dominasi penempatan  TKI pada wilayah Negara tertentu.  
Kita tidak pantas bersikap munafik  dengan  alasan harga diri, tetapi tidak mampu  memahami masalah untuk asal bicara sehingga merendahkan nilai  intelektual kita. Fakta Prosentase  keuntungan Negara dalam sector ekonomi  melalui devisa  dan pengiriman gaji  serta  multi efek lain  jauh lebih tinggi dibanding  kegagalan  karena kasus.  Begitupun dengan  prosentase fakta  dalam sector  psikososial , dimana  menjadi  TKI telah  mampu mengangkat  harkat  martabat  atas kemiskinan , pola pikir dan pola hidup  mereka  lebih baik, bukan oleh kita dan Negara.  Justeru kita dan Negara telah mengambil  banyak manfaat dari  semangat TKI.
Untuk  Negara saat ini, persoalan perlindungan  dan kualitas TKI menjadi  PR  penting  untuk diselesaikan. Solusi  perlindungan  harus ditempuh  dengan langkah diplomatic yang optimal dengan Negara penempatan  yang lebih  mengacu pada nilai-nikai kemanusiaan  dengan merujuk  hukum migrant internasional.  Dan pihak-pihak lain supaya lebih arif mendudukan persoalan sehingga tidak sekedar bisa memberi  hujatan  jika TKI menghadapi masalah karena  persoalan TKI  adalah persoalan Negara  yang juga  menjadi persoalan kita semua.[22]
Setiap kali melihat berita di media cetak dan elektronik tentang perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, kasar, penyiksaan, sampai pembunuhan terhadap tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita (TKI/TKW) di luar negeri, pemerintah dan masyarakat baru bereaksi, seolah-olah kejadian seperti ini tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Padahal TKI yang dikirim ke luar negeri, khususnya TKW, sangatlah rawan terhadap penyiksaan, perlakuan kasar, dan tidak manusiawi sampai kepada pemerkosaan, pembunuhan, atau penghilangan (disappearance). Sikap reaktif dan impromptu itu sungguh tidak bijaksana mengingat harkat dan martabat bangsa Indonesia dipertaruhkan di negara yang menampung mereka di perantauan karena alasan mencari dan memperoleh pekerjaan guna menyambung hidup mereka, yang di dalam negeri tidak dapat mereka peroleh dengan berbagai alasan ekonomi, sosiologis, dan antropologis.
Selayaknya TKW/TKI yang sudah sejak lama dianggap sebagai pahlawan devisa diperhatikan nasibnya oleh pemerintah dan elite negeri ini. Ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah dan elite karena berbagai hal itu disebabkan kekeliruan manajemen, ketimpangan distribusi kekayaan, dan kesenjangan sosial.
Pihak TKW/TKI yang dikirim ke mancanegara banyak yang tidak dibekali pengetahuan mengenai budaya, kebiasaan, persepsi majikan terhadap TKW/ TKI, hubungan kerja, penguasaan bahasa, perlakuan, dan pengharapan (ekspektasi) majikan di sana dan lain-lain. Karena itu, program pelatihan dan penyuluhan TKW/TKI perlu diadakan agar para TKW/TKI yang mau berangkat ke negara tujuan dibekali pengetahuan tentang budaya, kebiasaan, hubungan kerja, bahasa dan keterampilan yang dapat meminimalisasi risiko penganiayaan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan perendahan harkat dan martabat sebagai manusia, dan pembunuhan.
Tanpa pembekalan akan keterampilan (skill), bahasa setempat, dan penyuluhan tentang hal-hal yang disebutkan tadi, akan rawan terjadi ketidakpuasan sang majikan yang menggaji mereka, yang bukan tidak mungkin akan berujung pada tindakan-tindakan pelecehan seksual dan kekerasan kepada TKW/TKI.
Perlakuan yang tidak manusiawi ini merupakan pelanggaran atas Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”.[23]
Perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI/TKW juga melanggar Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights, yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”.[24] Di sinilah pemerintah kita harus berperan sebagai penyuluh dan pembimbing proaktif para TKW/ TKI.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, peran pemerintah sangat vital untuk memberikan penyuluhan dan bekal sebelum para TKW/TKI dikirim ke negara-negara tujuan seperti di Timur Tengah (Saudi Arabia, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain), Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Pemerintah harus proaktif memberi perlindungan hukum seperti mengadakan perjanjian bilateral dengan negara penampung TKW/ TKI.
Kemudian menyusun draf kontrak kerja yang dapat melindungi para TKW/TKI, penyuluhan tentang bahasa, kebudayaan, kebiasaan, ekspektasi, hubungan kerja, hak cuti, prosedur pengaduan kalau ada perlakuan melanggar hukum dan kemanusiaan, serta hal-hal lain. Adapun peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap TKW/ TKI telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pasal 6 UU No 39/2004 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Kemudian dalam Pasal 7, “dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pemerintah berkewajiban sebagai berikut:

a)     Menjamin terpenuhinya menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKW/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri.
b)     Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c)      Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
d)     Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
e)     Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”
Lebih lanjut dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 UU No 39/2004 bahkan telah diatur lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap TKW/TKI selama penempatannya di luar negeri, melalui perwakilannya di luar negeri dan perwakilan dari perusahaan swasta yang melaksanakan penempatan TKW/TKI di luar negeri. Selain itu, perlu juga diselidiki terlebih dahulu, apakah negara tujuan masih mempraktikkan perbudakan?
Siapa-siapa saja yang bersalah selama ini dan sejauh mana proses peradilan dan hukuman yang ditetapkan? Barangkali kita dapat belajar dari sesama negara ASEAN seperti Filipina dan Thailand yang juga mengirim tenaga kerja keluar negeri tetapi tidak mengalami nasib yang sama dengan TKI asal Indonesia. Semua ini perlu dilakukan terpadu, terprogram, holistik, bukan sewaktu-waktu dan reaktif saja, karena ini menyangkut kemanusiaan, harkat, dan martabat bangsa.
Pemerintah harus melindungi hak asasi manusia para TKW/TKI, khususnya hak hidup, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan bukan objek hukum. Tanpa jaminan tersebut, sebaiknya pengiriman TKW/TKI ke negara-negara tertentu yang tidak dapat menjamin ada perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi bagi TKW/TKI dihentikan untuk sementara waktu, sampai keadaan kondusif dan pemerintah negara tujuan menjamin perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi terhadap para TKW/TKI kita.
IKADIN pernah mengirimkan Tim Kemanusiaan yang terdiri atas Sudjono, Frans Hendra Winarta, John Pieter Nazar, dan Arno Gautama Harjono, ke Malaysia pada 1991 untuk membela Salidin Bin Mohammad, TKI di Malaysia yang dituduh membunuh seorang warga negara Malaysia dalam suatu perkelahian antarkelompok di Ipoh, Kuala Lumpur, 1989. Pembelaan terhadap Salidin Bin Mohammad dilakukan dengan bekerja sama dengan peguam bela Malaysia atas biaya Tim Kemanusiaan IKADIN dan majikan Salidin.
Akhirnya, Mahkamah Tinggi Malaysia pada sidang tanggal 1 September 1992 memutus bebas Salidin Bin Mohammad karena mempunyai alibi. Pengiriman TKW/TKI ke luar negeri memang suatu dilema. Di satu pihak, mereka dapat memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang layak dengan bekerja di luar negeri, bahkan dapat membantu menafkahi keluarga mereka di Indonesia.
Tetapi di lain pihak, mereka terancam dengan penyiksaan, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, pemerkosaan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Tetapi, ini bukan tidak ada solusinya selama pemerintah mempunyai political will untuk menanggulangi nasib para TKW/TKI di mancanegara. Karena itu, pemerintah diharapkan dapat segera bertindak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang sering dialami TKW/TKI di mancanegara selama ini, kasus-kasus penganiayaan TKW/TKI tidak terulang kembali di masa mendatang.[25] 
Meskipun berbagai kasus penyiksaan TKI yang dialami oleh para tenaga kerja wanita di luar negeri kerap berujung pada paket mayat yang diterima oleh pihak keluarga si pekerja, kenyataannya setiap tahun jumlah tenaga kerja yang dikirim keluar negeri rata-rata mencapai 50.000 hingga 60.000 per tahun. Bahkan menurut pengakuan menteri Tenaga Kerja Sendiri bahwa pengiriman TKI ke arab Saudi mencapai 300 orang perhari.[26] Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, disusul provinsi Nusa Tenggara Barat.
B.     Masalah domestic
Semua persoalan TKI di luar negeri berawal dari masalah domestik. Sampai saat ini, pemerintah gagal menyusun sistem perekrutan, dokumentasi, dan pelatihan calon TKI yang mumpuni.
Pemerintah menyerahkan hampir semua proses kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan baru muncul aktif menjelang tahap akhir penempatan. Persoalan kemiskinan membuat ribuan angkatan kerja tanpa keahlian, bahkan sebagian besar tidak berpendidikan formal sama sekali, mendaftar menjadi TKI.
Keterbatasan informasi dan peran aktif pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor menjadi dewa penolong mereka. Sponsor, yang seolah-olah kepanjangan tangan PPTKIS, berkeliaran mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang menggiurkan.
Sponsor mengantar calon TKI ke penampungan-penampungan PPTKIS dan meninggalkan mereka di sana begitu menerima uang jasa dari pengusaha. Sampai di sini, PPTKIS wajib membekali calon TKI dengan pelatihan kompetensi minimal 200 jam dan bagi mereka yang sudah pernah bekerja di luar negeri selama 100 jam. Kursus selama sekitar 21 hari tersebut bertujuan meningkatkan kompetensi calon TKI terhadap bahasa, kondisi sosial, dan hukum di negara tujuan.
Tetapi, dalam kasus Sumiati, kita mengetahui proses ini tidak berjalan. Sumiati tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris. Faktor komunikasi yang membuatnya tidak mampu memahami permintaan atau instruksi majikan. Oleh karena itu, Sumiati telah menjadi korban keserakahan pengusaha penempatan dan birokrat yang tidak mampu menjalankan tugas.
Bagaimana mungkin Sumiati bisa tetap berangkat ke Madinah dengan prosedur resmi sementara dia tidak memenuhi syarat pokok dalam kompetensi kerja? Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menyalahkan Sumiati. Dia hanya ingin bekerja agar bisa keluar dari kemiskinan. Sumiati bisa saja merasa tertarik atas keberhasilan teman dan kerabatnya yang sukses mendulang rezeki di luar negeri menjadi TKI.
Belum sebulan Muhaimin Iskandar menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dia meluncurkan program sertifikasi kompetensi 15.000 calon TKI tujuan Timur Tengah bekerja sama dengan asosiasi pengusaha penempatan TKI. Muhaimin juga merazia sejumlah tempat penampungan calon TKI yang tidak layak dan menegaskan akan mencabut izin PPTKIS konsumen sertifikat kompetensi kerja TKI asli tetapi palsu. Disebut asli tetapi palsu (aspal) karena PPTKIS mendapatkan sertifikat resmi itu tanpa menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja. Sertifikat aspal ini diperdagangkan dengan harga Rp 70.000 per lembar.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Yunus M Yamani dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Rusjdi Basalamah pernah mempersoalkan hal ini. Namun, pemerintah tidak kunjung menangani sehingga praktik ilegal itu semakin meluas. Pengusaha yang serius menjalankan aturan pemerintah menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja berbiaya Rp 1,1 juta per orang pun tergoda. Mereka telah kehilangan daya saing saat pemerintah tak kunjung menindak perdagangan sertifikat aspal senilai Rp 70.000 per lembar tanpa proses pelatihan. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, PPTKIS dan balai latihan kerja penerbit sertifikat kompetensi kerja aspal bisa dipidana karena menggunakan dokumen resmi secara tidak sah. Namun, Kemennakertrans dan BNP2TKI juga patut diseret ke pengadilan karena turut meloloskan pemegang sertifikat aspal ke luar negeri. Kelemahan pemerintah membenahi persoalan domestik turut melemahkan rasa percaya diri diplomasi bilateral.
Saat ini, Indonesia menghentikan sementara (moratorium) penempatan TKI sektor informal ke Malaysia sejak 26 Juni 2009, Kuwait (1 September 2009), dan Jordania (30 Juli 2010). Moratorium ini berawal dari keengganan pemerintah ketiga negara memenuhi permintaan Indonesia. Kemampuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pembantunya dalam hal negosiasi, lobi, dan diplomasi sangat menentukan keberhasilan moratorium. Kalau tidak, ya seperti sekarang. Kebijakan buruh migran Indonesia akan terus berfluktuasi mengikuti kemauan negara tujuan dan penyiksaan TKI oleh majikan tak lebih angka statistik semata. Semua demi aliran devisa.

C.      Faktor-faktor Penyebab Penganiayaan
Terjadinya banyak kasus penganiayaan dan penyiksaan TKI yang berada di luar negeri disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tak jarang bermula dari ketidakprofesionalan pihak-pihak yang menangani kebijakan penyaluran tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan berbagai penganiayaan dialami oleh para tenaga kerja terutama kaum wanita;
  1. Kemampuan berbahasa yang tak memadai
Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Nusa Tenggara Barat bidang Kesra dan Tenaga Kerja bernama TGH Hazmi Hamzar menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penganiayaan dan penyiksaan TKI di negara Saudi Arabia adalah persoalan bahasa. Para tenaga kerja banyak yang diberangkatkan dalam kondisi kepahaman bahasa yang minim. Hal ini jelas akan menjadi faktor penghambat komunikasi antara seorang pekerja dengan majikan. Oleh sebab itu hal penting yang harus dipenuhi seorang tenaga kerja yang akan diberangkatkan adalah persoalan bahasa, bahasa harus dikuasai sebab merupakan kunci utama dalam komunikasi.
2.     Kemampuan mengenal budaya negara yang akan dituju
Kemampuan membaca dan memahami budaya suatu daerah merupakan modal penting untuk seseorang dapat hidup di daerah bersangkutan. Kesalahan dalam memahami sebuah budaya bukan hanya akan menghambat komunikasi, namun lebih parah lagi dapat mengancam keselamatan dirinya. Penyiksaan TKI di luar negeri salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan para tenaga kerja terhadap budaya dan adat istiadat suatu daerah. Pemahaman penting yang perlu ditanamkan pada para pekerja yang akan diberangkatkan selain bahasa adalah pemahaman budaya. Dua hal ini akan menjadi hal berimbang yang akan membantu keberadaan seseorang di sebuah negara asing.
3.     Kemampuan intelektualitas
Daya intelektual dan wawasan yang dimiliki oleh seseorang akan menjadi faktor bagaimana orang lain akan bersikap terhadap kita. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang kerap mendapat penyiksaan dan penganiayaan fisik, mayoritas berasal dari tenaga kerja non terdidik. Biasanya, berasal dari kalangan pekerja rumah tangga yang kebanyakan kaum wanita. Perspektif negara-negara maju memandang Indonesia adalah sebuah negara besar yang masih miskin dan dilanda persoalan dalam negeri yang tak kunjung putus.






BAB IV
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja  sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat tidak  juga bisa kita salahkan.  Fakta- fakta  yang memberi gambaran obyektif  dan langsung dari kemiskinan nyata  banyak  yang sukses menjadi   TKI didepan mata, Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi  dinegeri sendiri.  Sebuah fakta memang yang  harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan kerja dalam negeri.
Keterlibatan Negara  terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang memberi  keuntungan,  disatu hal  terbukti membawa dampak social yg baik dan memberi  keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa.  Namun melihat kemiskinan nyata  yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar negeri  yang kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan dalam posisi dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu memberi perlindungan optimal bagi TKI.
Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah ‘Dua Negara”. Dimana setiap negara  ditetapkan bertanggung jawab  atas terjadinya tindakan kesalahan.  Sepanjang  kejadian  siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara telah lalai dalam tanggung-jawabnya.  Hampir dipastikan  baik Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan  tidak berfungsi efektif  memberi  pelayanan dan perlindungan TKI.
Sebetulnya, dasar hokum hak dan perlindungan TKI sudah diatur dan diamanatkan oleh konstitusi negara kita bahkan negara pengguna jasa tenaga kerja Indonesia.
Beberapa aturan domestik itu diantaranya :
-       Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan";
-       Pasal 28D Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
-       Pasal 28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
-       Peraturan Menteri Tenaga Kerja ; Per-02/Men/1994, tentang Penempatan Tenaga Kerja Di dalam dan ke Luar Negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, yang merupakan pengganti Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja Swasta dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar Kerja Antar Negara (AKAN), yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan masyarakat Indonesia.
-       Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Per-02/Men/1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, pelaksanaan penempatan tenaga kerja di luar negeri ditetapkan dalam Bab II pasal 5 tentang persyaratan kerja:

Regulasi Jaminan Perlindungan Hukum TKI Di Luar Negeri (Arab Saudi)
Dalam peraturan Kerajaan Arab Saudi, yaitu dalam The Basic Law of Government pasal 17, (Basic Law 1 Maret 1992), ditetapkan bahwa :

pemilikan modal, dan tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan kehidupan social kerajaan yang semuanya menerapkan hak-hak peribadi yang melayani fungsi social yang sesuai dengan syariah islam.[27]

Pasal 18, menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggu gugatnya kepemilihan pribadi. Kepemilikan pribadi tidak akan disita, kecuali untuk kepentingan umum, dan penyitaan akan dikompensasi secara wajar.[28]
Pasal 26, bahwa negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua rakyat yang sanggup dan akan menetapkan perundang-undangan untuk melindungi pekerja dan majikan.[29]
Pasal 36, menyebutkan bahwa, negara akan menjamin keamanan semua warga negara dan orang asing yang hidup dalam tempat tinggalnya. Tidak ada orang yang akan ditahan, dipenjara, atau tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh ketentuan-ketentuan hokum.[30]
Pasal 47, menyatakan bahwa warga negara dan penduduk asing keduanya mempunyai hak yang sama terhadap proses peradilan.[31]
Sementara dalam Royal Decree Nomor /M/21 tanggal 15 November 1969, mengenai Undang-Undang Perburuhan Kerajaan Arab Saudi, pasal 3 menetapkan bahwa, sebagai pengecualian pasal-pasal UU ini tidak termasuk kepada :[32]
a)     Pekerja dalam perusahaan keluarga yang termasuk hanya anggota-anggota dari keluarga majikan;
b)     Orang yang bekerja di peternakan atau pertanian dengan pengecualian ;
-       orang-orang yang bekerja di perusahaan pertanian yang memproses produksinya sendiri.
-       Orang-orang yang bekerja secara permanen dalam operasi atau perbaikan alat mekanis yang diperlukan untuk pertanian.
c)      Pembantu domestik dan orang-orang yang dianggap seperti itu.
Jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja di Kerajaan Arab Saudi sebenarnya telah ada dan tercantum dalam perundangan, baik dalam konstitusi, Basic Law, Maupun Labour Law.
Jika perlindungan itu tidak ada, akan diusahakan perdamaian antara tenaga kerja dengan pengguna jasa, Kedutaan RI/Konsulat Jenderal RI di Arab Saudi cukup membantu dengan menyediakan tecaga pengacara secara tetap.[33]

C.      Alternatif / Saran Penulis
Setelah melihat dan mengkaji permasalahan di atas, serta berbagai referensi dari berbagai sumber, ada bebarapa hal yang menurut penulis bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan klasik di atas, diantaranya
1.     Penciptaan Lapangan Kerja Baru
Pengiriman TKI besar-besaran adalah dampak dari kurang tersedianya lapangan kerja di negara kita, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan semakin meningkat.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatifpengangguran. Salah satu diantaranya adalah membuka usaha sendiri. Selain memberdayakan diri, membuka usaha berarti juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Pemerintah menggalakkan program kewirausahaan bagi para pemuda, mahasiswa dan remaja. Maksud program ini jelas bahwa seorang mahasiswa yang telah lulus tidak semata-mata mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri. Tapi yang terpenting adalah menciptakan lapangan kerja baru.
Program tersebut mencakup bantuan modal usaha maupun pelatihan entrepreneurship di kalangan mahasiswa dan pemuda. Namun kini, banyak juga anak muda yang memang sejak awal bercita-cita tidak menjadi pegawai. Bagi mereka, sekolah atau kuliah tetap penting tapi bukan yang utama.
Karena itu banyak kita jumpai, para mahasiswa yang sudah mulai berbisnis kecil-kecilan. Ada yang turun langsung mengurus bisnisnya sendiri. Namun adapula yang mempekerjakan orang lain sebagai pegawai, sementara mereka bertindak sebagai manajer. Misalnya mahasiswa yang membuka bisnis makanan yang dijajakan dengan gerobak dorong.
Walau nampak sederhana, usaha ini sungguh mulia. Mereka sudah belajar untuk berbisnis, membuka lapangan kerja dan mengurangi dampak negatif pengangguran. Setelah lulus, mereka dapat mengembangkan bisnisnya menjadi lebih besar ataupun berbisnis baru yang lebih besar namun dengan ‘ilmu jalanan’ yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

2.     Mencegah (bukan mengobati) Kekerasan pada TKI
Penyebab kekerasan pada TKI bisa karena beberapa hal, misalnya tidak adanya undang-undang yang benar-benar memberi jaminan perlindungan terhadap TKI, kurangnya keterampilan TKI sehingga mendapat marah sang majikan, dan masih banyak penyebab lain.
Berikut ini beberapa cara untuk mencegah kekerasan TKI di luar negeri :
·         Bagi para calon TKI, sebaiknya gunakan jalur penyaluran tenaga kerja yang legal dan terpercaya.Penyalur tenaga kerja yang baik adalah lembaga/perusahaan yang bisa menentukan di mana sebaiknya TKI tersebut bekerja sesuai kemampuannya.
·         Para penyalur TKI ke luar negeri hendaknya memberi pembinaan dan pelatihan khusus pada calon TKI. Tak hanya tentang cara bekerja, tapi juga bagaimana kebiasaan orang luar negeri dan tata cara bersikap. Hal ini tentu sangat berguna agar TKI tidak menjadi sasaran kemarahan majikan karena salah mengerjakan tugas.
·         Baik penyalur maupun pemerintah hendaknya selalu memantau para TKI agar kekerasan pada TKI bisa diminimalisir, seperti memberlakukan aturan kepada setiap TKI di luar negeri agar melakukan pelaporan setiap 3 bulan sekali agar TKI tersebut terpantau dan bisa diketahui keadaannya.
·         Pemerintah harus menindak tegas para penyalur TKI ilegal yang bisa menyebabkan para calon TKI mendapat hal-hal yang tidak menyenangkan saat bekerja di luar negeri.
·         Pemerintah harus bisa memberi jaminan perlindungan terhadap para TKI di luar negeri. Selama ini, undang-undang tentang TKI tidak bisa melindungi para pekerja tersebut dengan baik. Sampai saat ini, pemerintah masih dinilai sangat lemah dalam menangani kasus kekerasan pada TKI.
·         Pemerintah harus benar-benar bekerja sama secara baik dengan pemerintah tempat TKI bekerja, menjalin suatu perjanjian untuk melindungi para TKI dari tindak kekerasan.
Itulah beberapa cara untuk mencegah kekerasan pada TKI. Dalam hal ini Pemerintah adalah faktor penting dalam keselamatan para TKI yang sedang bekerja di luar negeri.
Memang harus diakui, pencegahan kekerasan pada TKI ini memang sangat sulit karena menyangkut watak orang lain (majikan), apalagi pemerintah Indonesia tidak bisa menuntut pelaku kekerasan begitu saja karena tidak terjadi dalam wilayah Indonesia.
Namun, ada satu cara lagi untuk mencegah kekerasan pada TKI, yaitu menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Pemerintah harus sadar, kenapa banyak sekali masyarakat yang tetap ingin menjadi TKI walau sudah banyak kasus kekerasan yang disebarkan oleh media.
Penyebabnya tentu karena faktor ekonomi yang rendah, yang kemudian mendorong masyarakat untuk mencari rezeki di luar negeri yang gajinya mungkin bisa lebih banyak daripada di Indonesia.
Untuk itu pemerintah sebaiknya serius untuk mengentaskan kemiskinan di negara ini, agar masyarakat bisa hidup tentram dan tidak terpaksa ke luar negeri hanya untuk mencari uang.


[1] Republika, 10 September 1996
[2] Muhaimin Iskandar (http://beritaterkini.us/news/)
[3] Disiarkan oleh TVone. Selasa, 16 November 2010 20:50 WIB
[4] I b i d
[5] vivanews.com
[6] I b I d
[7] Sumber : http://www.formatnews.com/
[8] I b i d
[9] I b i d
[10] I b I d
[11] Ismail Sunny (Ketika Menjabat Duta Besar RI untuk Arab Saudi (1994)
[12] Q.S. 2 ayat 86
[13] hadits
[14] The Basic Law of Government pasal 17
[15] I b I d
[16] I b I d
[17] I b I d
[18] I b I d
[19] Royal Decree (Undang-undang Perburuhan Kerajaan Arab Saudi)
[20] Ismail Sunny, Republika, 10 September 1996)
[21] , Republika, 10 September 1996)
[22] UMAR ALI MS
KA. UMUM PERHIMPUNAN RAKYAT NUSANTARA
http://saherangga.blogspot.com/ 
[23] Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights
[24] Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights
[25] Dr Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin, Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional 
[26] Muhaimin Iskandar (http://beritaterkini.us/news/)
[27] The Basic Law of Government pasal 17
[28] I b I d
[29] I b I d
[30] I b I d
[31] I b I d
[32] Royal Decree (Undang-undang Perburuhan Kerajaan Arab Saudi)
[33] , Republika, 10 September 1996)