Selasa, 23 April 2013

KORUPSI DAN AKIBAT YANG DITIMBULKAN DALAM PERSFEKTIF EKONOMI ISLAM

Oleh : Babay Sholehah

ABSTRAK
Dalam era reformasi yang terjadi di Indonesia memang banyak mengalami perubahan mulai dari sistem politik, pasar ekonomi, aparat penegak hukum, pergeseran tata hubungan dunia, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama dalam negeri ini. Selama satu setengah dasawarsa, hal yang paling sering di kumandangkan dan digencarkan dalam media bahkan suatu forum masyarakat Indonesia adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut tentang desentralisasi, kebebasan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan penilaian Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) terutama korupsi yang terjadi di pemerintahan Indonesia dan khususnya di provinsi Banten.
Permasalahan tersebut memberikan narasi besar sejarah bagi bangsa Indonesia yang semakin transparan pada deretan semua kalangan, khususnya mengenai korupsi. Korupsi yang terjadi di provinsi Banten khususnya merupakan suatu hal yang menjadi biasa dilakukan di semua golongan, terutama pada para penguasa (pemerintahan). Padahal maksud dari reformasi birokrasi dilaksanakan sebenarnya dengan harapan dapat menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi pemerintah. Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai tinggi.
Dengan demikian, hal inilah yang perlu menjadi tinjauan khusus dan menjadi optimisme bahwa korupsi dapat diberantas dengan dilakukan kajian dan paparan secara mendalam oleh berbagai pihak untuk melakukan prospek pemberantasan.

Kata Kunci: Era Reformasi, Reformasi Birokrasi, Korupsi, Tinjauan Khusus Korupsi



PENDAHULUAN
Korupsi sudah menjadi isu ekonomi sejak era Adam Smith, saat itu Smith mengamati bagaimana pemerintah Inggris di abad ke-18 dan ke-19 yang sentralistis dan memiliki kekuatan monopoli atas perdagangan internasional yang berkaitan erat dengan korupsi[1]. Baru mulai berkembang pada saat 1980-an isu korupsi semakin populer di kalangan ekonom. Dalam ranah teoretis, kecenderungan ini karena sejalan dengan berkembangnya subdisiplin “ekonomi kelembagaan”. Hal ini ditandai dengan dengan diberikannya hadiah Nobel ekonomi pada James Buchanan (1986), Ronald Coase (1991), dan Douglass North, serta Robert Fogel (1993), atas kontribusi mereka mengintegrasikan aspek kelembagaan dalam teori ekonomi. Perubahan paradigma juga terjadi di ranah empiris dan kebijakan pembangunan ekonomi. Akademisi, praktisi kebijakan, dan lembaga donor mulai berpikir bahwa korupsi adalah satu alasan utama mengapa negara-negara berkembang menderita keterbelakangan dan ketertinggalan[2]. Sebelumnya, ketiadaan modal fisik dan manusia untuk menjalankan pembangunan dianggap sebagai faktor yang menyebabkan adanya negara miskin dan maju[3].
Mayoritas korupsi terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Dari survei yang dilakukan oleh Transparency International.org tahun 2012, sebuah badan independen internasional, meriset dari 146 negara, tercatat data 10 besar negara yang dinyatakan sebagai negara terkorup. Daftar 10 negara terkorup di dunia antara lain: 1. Azerbaijan 2. Bangladesh 3. Bolivia 4. Kamerun 5. Indonesia 6. Irak 7. Kenya 8. Nigeria 9. Pakistan 10. Rusia. Pada tingkat Asia Pasifik, negara Indonesia adalah negara yang terkorup. Berikut adalah lima besar negara paling korup di Asia-Pasifik, yaitu: 1. Indonesia 2. Kamboja 3. Vietnam 4. Filipina 5. India. Pada pemberitaan media informasi republika.com pun laporan tahunan Government Watch tahun 2012 menyebutkan bahwa sebanyak 3000 anggota legislatif DPR RI/DPRD terbukti terlibat tindak pidana, yang 1200 diantaranya tindak pidana korupsi[4].
Skandal korupsi yang terjadi di Indonesia terkait dengan yayasan pemerintah dana non-budgeter. Setidaknya, ada tiga kasus korupsi besar yang pernah menyita perhatian publik dalam jangka waktu cukup panjang. Pada tahun 1999 menyeruak kasus korupsi dana Yanatera Bulog senilai 35 miliar rupiah yang populer disebut Skandal Bulog I. Lima tahun kemudian pada tahun 2004, mencuat kasus penggelapan dana Asabri yang melibatkan dana 410 miliar rupiah milik Yayasan Kesejahteraan dan Perumahan Prajurit (YKPP) Departemen Pertahanan, yang awal mulanya terjadi pada tahun 1997. Sejak pertama kali terbongkar pada tahun 2007 hingga sekarang, skandal serupa: kasus dana suap 100 miliar rupiah milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), Bank Indonesia[5].
Skandal Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak hanya terjadi pada pusat pemerintahan Indonesia saja tetapi kasus tersebut sudah menjalar pada beberapa pemerintahan-pemerintahan daerah, contoh kasus terjadi pada Oktober 2012 lalu dalam fesbukbantennew.com di provinsi Banten adalah korupsi pembebasan lahan kawasan Sistem Pertanian Terpadu (Sitandu) sebesar Rp 67 miliar[6], lalu kasus serupa juga terjadi pada tanggal 5 Maret 2013 lalu dua orang dosen menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan peralatan laboratorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) bantuan dari Kemendikbud senilai Rp 49 miliar[7], sedangkan pada tanggal 22 Maret 2013 ini terjadi kerugian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada pembebasan lahan Pemerintahan kabupaten (Pemkab) Serang akibat digunakan untuk membayar ganti rugi lahan seluas 40 hektar di Desa Cisait, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, besarnya kurang-lebih Rp. 80 miliar, dan masih banyak kejadian lainnya kasus KKN terutama Korupsi di provinsi Banten[8].
Dari data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis peringkat provinsi di Indonesia yang paling berpotensi korupsi. Peringkat didasarkan pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2011. Dalam IHP itu, tercatat untuk 33 provinsi ditemukan kerugian negara sebesar Rp 4,1 Triliun (Rp 4.174.640.290.000) dengan sebanyak 9.703 kasus. Kerugian ini terjadi dari tahun anggaran 2005-2011. Berikut urutan provinsi, mulai dari yang paling berpotensi korupsi:
1.      Provinsi DKI Jakarta dengan kerugian negara sebesar Rp 721.519.140.000 (715 kasus).
2.      Provinsi Aceh Rp 669.849.650.000 (629 kasus).
3.      Provinsi Sumatera Utara Rp 515.569.770.000 (334 kasus).
4.      Provinsi Papua Rp 476.986.970.000 (281 kasus).
5.      Provinsi Kalimantan Barat Rp 289.858.520.000 (334 kasus).
6.      Provinsi Papua Barat Rp 169.053.340.000 (514 kasus).
7.      Provinsi Sulawesi Selatan Rp 157.723.140.000 (589 kasus).
8.      Provinsi Sulawesi Tenggara Rp 139.970.570.000 (513 kasus).
9.      Provinsi Riau Rp 125.274.240.000 (348 kasus).
10.  Provinsi Bengkulu Rp 123.985.400.000 (257 kasus).
11.  Provinsi Maluku Utara Rp 114.291.160.000 (732 kasus).
12.  Provinsi Kalimantan Timur Rp 80.131.080.000 (244 kasus).
13.  Provinsi Sumatera Selatan Rp 56.487.440.000 (239 kasus).
14.  Provinsi Nusa Tenggara Barat Rp 52.825.470.000 (307 kasus).
15.  Provinsi Sulawesi Tengah Rp 52.823.110.000 (294 kasus).
16.  Provinsi Sulawesi Barat Rp 51.374.210.000 (335 kasus).
17.  Provinsi Gorontalo Rp 48.841.820.000 (203 kasus).
18.  Provinsi Maluku Rp 47.850.610.000 (326 kasus).
19.  Provinsi Nusa Tenggara Timur Rp 44.485.010.000 (219 kasus).
20.  Provinsi Jawa Barat Rp 32.437.610.000 (363 kasus).
21.  Provinsi Lampung Rp 28.460.330.000 (181 kasus).
22.  Provinsi Sumatera Barat Rp 27.456.410.000 (188 kasus)
23.  Provinsi Kalimantan Selatan Rp 22.860.180.000 (221 kasus).
24.  Provinsi Kalimantan Tengah Rp 21.453.820.000 (153 kasus).
25.  Provinsi Banten Rp 20.141.570.000 (207 kasus).
26.  Provinsi Kepulauan Riau Rp 16.194.040.000 (109 kasus).
27.  Provinsi Sulawesi Utara Rp 16.072.000.000 (227 kasus).
28.  Provinsi Jambi Rp 15.874.820.000 (172 kasus).
29.  Provinsi Jawa Timur Rp 11.424.300.000 (153 kasus).
30.  Provinsi Jawa Tengah Rp 10.439.570.000 (145 kasus).
31.  Provinsi Bali Rp 6.295.300.000 (81 kasus).
32.  Provinsi DI Yogyakarta Rp 4.712.530.000 (23 kasus).
33.  Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Rp 1.917.160.000 (76 kasus).
Dari data diatas menunjukkan bahwa posisi peringkat korupsi pada provinsi Banten menempati pada urutan ke-25 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia[9]. Dengan demikian, maka pemberantasan korupsi harus segera ditangani agar dapat menciptakan pemerintahan yang kuat bebas dari KKN.

PENGERTIAN KORUPSI
Apabila kita mengunjungi website merriam-webster.com dengan menulis kata corruption, definisi yang muncul adalah immoral conduct or practices harmful or offensive to society” atau “a sinking to a state of low moral standards and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the fall of the Roman empire)”[10]. Definisi tersebut maknanya terlalu luas dan kurang bermanfaat untuk dijadikan pijakan dalam membahas korupsi sebagai permasalahan multidimensi (politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lainnya).
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan United Nations Developement Program, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku[11]. Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang antikorupsi. Walau demikian, definisi tersebut belum sempurna meski cukup membantu dalam membatasi pembicaraan tentang korupsi.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Menurut Alatas, karakteristik korupsi adalah sebagai berikut: (1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. (2) Secara keseluruhan, korupsi melibatkan rahasia di antara mereka yang terlibat. (3) Korupsi mempunyai unsur tanggung jawab bersama dan keuntungan bersama. (4) Pelaku korupsi biasanya berusaha mengkamuflasekan perbuatannya dengan justifikasi dari aspek hukum dan perundang-undangan. Mereka tidak berani secara terbuka berkonfrontasi dengan hukum. (5) Orang yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan yang pasti, dan ia mampu mempengaruhi keputusan tersebut. (6) Perbuatan korupsi melibatkan penipuan atau muslihat. (7) Korupsi melibatkan kontradiksi dua fungsi pelakunya, sebagai pemegang jabatan publik dan sebagai individu. (8) Korupsi mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kewajiban tugas [12].
Korupsi sendiri menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi yang terjadi karena adanya faktor peluang atau kesempatan akibat lemahnya sistem perekonomian dan hukum yang ada, penegakan hukum tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, dan yang utama adalah karena lemahnya ilmu agama serta etika.

PRINSIP EKONOMI ISLAM DALAM KORUPSI
a.      Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya semua memiliki pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “social science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”[13]. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”[14].
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam). Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut  Umer Chapra[15] adalah sebagai berikut:
1.    Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2.    Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3) gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
3.    Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, (3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

b.      Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menegaskan yang artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”[16].
Dari ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan[17].

KORUPSI DAN AKIBAT YANG DITIMBULKAN
Substansi korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah, sebagaimana mengandung dua unsur utama yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum dan pengutamaan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik oleh aparatur negara. Dengan demikian, korupsi ini merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri secara zalim yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan ekonomi Islam, karena Al-Quran yang merupakan sumber utama doktrin ekonomi Islam menyatakan, yang artinya, “Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, lakukan secara adil…”. (Terjemahan Q.S. An-Nisa (4): 58). 
Para aparatur negara, sebelum memegang jabatan tertentu, mereka disumpah setia untuk melaksanakan tugas sesuai dengan amanahnya, akan tetapi ketika mereka melakukan korupsi berarti mereka ungkar terhadap janji mereka sendiri. Tindakan ini bertentangan dengan firman Allah yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban”. (Terjemahan Q.S. Al-Isra’ (17): 34).
Dua ayat tersebut dengan jelas memerintahkan untuk melaksanakan amanah, memenuhi janji dan berlaku adil. Pengkhianatan terhadap suatu amanah dan janji merupakan satu kesalahan yang bisa dituntut di pengadilan. Ini artinya pelaksanaan amanah dan pemenuhan janji merupakan ajaran yang sangat penting dalam ekonomi Islam.
Dalam rangka pelaksanaan amanat oleh penguasa, Al-Quran memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan amanat itu. Hal ini tertuang dalam (Q.S. Al-‘Ashr (103): 3) yang memerintahkan untuk saling menasehati dalam menegakkan kebenaran. Implikasi konkrit dari prinsip ini, rakyat bebas melakukan pengawasan terhadap penguasa yang diwujudkan dalam bentuk kritik, nasehat dan lain-lain. Fungsi pengawasan ini terbuka untuk siapa saja yang mau dan mampu memberikan kritik dan saran pada penguasa. Tersedianya ruang bagi publik untuk terlibat dalam politik secara aktif semacam ini merupakan ciri dari masyarakat yang diprofilkan Al-Quran[18].
Bahkan Al-Quran juga menyatakan dalam (Q.S. Al-Anfal (8): 25) bahwa kehancuran suatu masyarakat (akibat dari perilaku jahat dan zalim individu di dalamnya seperti korupsi dan lain-lain) tidak hanya akan menimpa kepada orang-orang yang berbuat zalim, tetapi juga akan menimpa seluruh individu dalam masyarakat itu. Dengan demikian membiarkan sebagian anggota masyarakat melakukan korupsi, sama artinya menggali jurang kebinasaan bagi mereka semua.
Korupsi yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam pemerintahan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, memberikan efek negatif terhadap perkembangan politik, birokrasi, ekonomi dan bahkan masyarakat dan individu. Hal ini menunjukkan sikap tidak bertanggungjawabnya pemerintahan korup tersebut terhadap tugas dan kewajibannya sebagai aparatur negara. Padahal dalam perspektif ekonomi Islam, negara memiliki tugas dan fungsi yang luas, di antaranya adalah tugas dan fungsi dalam bidang ekonomi, yaitu mengkurangkan kemiskinan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan, menciptakan keadilan sosio-ekonomi, menjaga stabilitas keuangan, menegakkan hukum dan peraturan dan lain-lain[19].
Al-Quran merupakan salah satu sumber hukum utama ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi yang menumbuhkembangkan iklim ketamakan dalam masyarakat, menjadikan masyarakat itu bertentangan profil masyarakat yang dikehendaki Al-Quran yaitu masyarakat yang bercirikan:
1.      Tauhidullah/mengesakan Allah (Q.S. Al-Ikhlas (112): 1-4)
2.      Diliputi Ukhuwah/persaudaraan (Q.S. Al-Hujurat (49): 10)
3.      Musawah/persamaan (Q.S. Al-Hujurat (49): 13)
4.      Bersatu dalam ikatan tali Allah (Q.S. Ali ‘Imran (3): 103)
5.      Tolong-menolong (Q.S. Al-Maidah (5): 2)
6.      Berkeadilan (Q.S. Al-An’am (6): 152)
7.      Musyawarah (Q.S. Asy-Syura (42): 38)
8.      Ada tangungjawab sosial (Q.S. Ali ‘Imran (3): 104)
9.      Berlomba dalam kebajikan (Q.S. Al-Maidah (5): 48)
10.  Toleransi (Q.S. Al-Kafirun (109): 1-6)
11.  Kebebasan (Q.S. Al-Baqarah (2): 256)
12.  Berwajah ramah dan anggun (Q.S. Al-Hujurat (49): 10 dan Q.S. Al-An’am (6): 152)
13.  Menegakkan dan membela kebenaran (Q.S. Al-Maidah (5): 35)
Untuk mendukung terwujudnya profil masyarakat yang dikehendaki Al-Quran, Islam mempunyai institusi berupa zakat yaitu dengan menyediakan bantuan material kepada orang miskin dan pihak yang membutuhkan lain (asnaf delapan). Bentuk lainnya adalah dengan menyediakan bantuan material kepada anak yatim piatu, janda, orang tua dan lain-lain. Di samping itu, zakat juga berperan sebagai ekspresi persaudaraan, goodwill, kerjasama dan sikap toleran dalam masyarakat[20].
Dalam termonologi Al-Quran, korupsi dipersamakan dengan fasad dalam maknanya yang luas dan umumKata fasad dan derivasinya, diulang 47 kali dalam Al-Quran, dan 82 kali dalam hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits. Fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah urus, anarki, ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia-nyiaan, penyimpangan moral, keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, dan segala bentuk perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Al-Quran dalam menjelaskan korupsi (fasad) biasanya bersifat umum, walaupun ada juga yang khusus, seperti ketika Al-Quran melarang semua transaksi yang melibatkan penyuapan di dalamnya (Q.S. Al-Baqarah (2): 188).
Al-Quran juga mendorong upaya penegakan hukum yang benar-benar memenuhi rasa keadilan (Q.S. An-Nisa (4): 135). Keadilan merupakan unsur penting dalam materi hukum dan penegakan hukum sehingga tidak heran kalau Al-Quran menekankan agar keadilan itu tetap ditegakkan walaupun pada kerabat, bahkan kepada diri sendiri (Q.S. Al-An’am 6: 152). Al-Quran memandang supremasi hukum harus benar-benar ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan harus ditegakkan dimanapun, kapanpun, dan terhadap siapapun dengan tindakan tegas (Q.S. Al-Baqarah (2): 286).
Dalam sejarah Islam, zaman Nabi Muhammad tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau keluarganya sendiri dalam menegakkan hukum, karena beliau memandang bahwa penegakan hukum merupakan sesuatu yang sangat urgen dan signifikan dalam menjaga stabilitas suatu bangsa. Dalam memperbaiki masyarakat yang telah dirasuki korupsi, Al-Quran memperkenalkan konsepal-amru bi al-ma‘ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat serius memperhatikan masalah kehidupan moral (akhlak) manusia dalam masyarakat[21]. Anwar Harjono pun menilai bahwa konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban asasi yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Qur’an[22].

STRATEGI, PENCEGAHAN DAN PROSPEK PEMBERANTASAN KORUPSI
Meski upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan tetapi kondisi tidak kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah[23]. Menurut Isran, masalahnya karena pemekaran kinerja tak memadai sehinga berpengaruh terhadap pelayanan publik[24], lemahnya pendekatan keagamaan dan pendidikan, sosial – budaya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu dilakukan opsi langkah-langkah untuk memulai pemberantasan korupsi[25].
a.       Pendekatan Keagamaan dan Pendidikan
1.      Mendorong para tokoh dan lembaga agama mengeluarkan fatwa atau opini umum terhadap para pelaku korupsi yang merugikan masyarakat. Hal ini sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad SAW: “Fa-idza ro-a minkum munkaran, fal-yughayyirhu biyadihi, fa illam tastathi’ fa-bilisanihi, fa-illam tastathi’ fa-biqolbihi, wa huwa adl’afu al iman”.
2.      Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran/mata kuliah civic education tentang KKN di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa yang kelak dapat melahirkan warga Negara yang memiliki komitmen kejujuran, keadilan dan kebenaran.
3.      Mendorong para akademisi untuk terus melakukan berbagai riset (kualitatif maupun kuantitatif) tentang kasus KKN maupun yang terkait dengan budaya dan sosiologi korupsi.
4.      Melakukan reformasi silabi pendidikan keagamaan dari yang bercorak personal sosial morality menuju sosial morality, yakni dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan secara lebih membumi khususnya yang terkait dengan isu KKN.
5.      Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya KKN melalui lembaga pengajian dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
6.      Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang terkait dengan bahaya korupsi bagi segenap anggota keluarga sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan firman Allah agar kaum muslimin menjaga keluarga dari segala bentuk kejahatan moral dan sosial : “Qu anfusakum wa ahlikum naara (Q.S. At-Tahrim (66): 6)”.
7.      Mendorong para orangtua, tokoh dan pimpinan masyarakat, politisi maupun pejabat untuk menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat dan birokrasi negara.
8.      Mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih menghayati ajaran agama karena penghayatan agama yang benar akan mencegah seseorang dari melakukan tindak pidana korupsi maupun kejahatan lainnya. Upaya peningkatan sense of corruption melalui proses penajaman hati/mata batin secara ‘irfani menjadi sebuah keniscayaan di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi “Sal dlamiroka”, dan “istafti qolbaka”.
9.      Para pejabat, pemimpin informal serta para hartawan hendaknya memberikan keteladanan bagi masyarakat dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan kekayaan yang dimiliki.
10.  Para keluarga hendaknya membiasakan budaya menabung dan hidup secara produktif – tidak konsumtif – melalui pembudayaan sistem manajemen keuangan keluarga secara proporsional dan professional.

b.      Pendekatan Sosial – Budaya
1.      Menciptakan dan memasyarakatkan budaya malu  di kalangan warga bangsa khususnya yang terkait dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan/korupsi.
2.      Masyarakat hendaknya mulai melakukan upaya pengucilan bagi setiap anggota masyarakat yang terbuka melakukan korupsi yakni menolak kehadiran para koruptor untuk tampil di berbagai forum resmi baik di masyarakat maupun media massa, kecuali bagi mereka yang sudah bertobat dijalanNya. Pengucilan melalui medium hukum adat atau budaya lokal juga sangat efektif untukk menimbulkan rasa jera bagi koruptor.
3.      Melakukan sosialisasi secara intensif tentang bahaya korupsi di tengah masyarakat melalu media massa.
4.      Memberikan penghargaan (award) secara tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk diteladani.
5.      Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk segera menghentikan kebiasaan suap-menyuap, dari hal yang bersifat administratif sampai kasus money politics.
6.      Mendorong segenap anggota masyarakat untuk segera melaporkan kepada aparat yang berwenang tentang adanya indikasi penyalahgunaan wewenang/korupsi.
7.      Menerbitkan dan mempublikasikan berbagai literatur, brosur/VCD keagamaan yang mengkritisi tentang bahaya korupsi.
Dan salah satu upaya yang cukup strategis dalam proses pemberantasan korupsi adalah dengan maksimalisasi potensi institusi masjid yang cukup banyak bertebaran di tanah air. Semakin hari makin banyak bangunan masjid yang didirikan. Ini berarti bahwa boleh jadi kesadaran umat Islam tentang pentingnya masjid sebagai pusat pembinaan umat semakin menjadi kenyataan. Dengan demikian, amatlah strategis apabila upaya pemberantasan korupsi juga melibatkan takmir atau jamaah masjid yang hampir dimiliki setiap komunitas umat di Indonseia. Proses penyadaran melalui media pengajian, pengkajian, khutbah Jumat serta medium dakwah lainnya yang terkait dengan betapa bahayanya penyakit kronis yang bernama korupsi, menjadi sangat signifikan di masa mendatang.
Para jamaah, khususnya para khatib/da’i perlu diberi wawasan yang luas tentang tema korupsi ditinjau dari segi ajaran Islam. Bagi para da’i, kini juga sudah tidak terlalu sulit untuk mengupas masalah korupsi, mengingat banyaknya buku-buku rujukan tentang ini. Selain itu, kepada para jamaah masjid atau masyarakat yang ada di lingkungan masjid perlu pula diberi pencerahan tentang lika-liku tindakan korupsi, baik yang berskala kecil maupun berskala besar, melalui pelatihan antikorupsi maupun media iklan lainnya. Di samping itu, para takmir masjid sudah saatnya untuk menerapkan sistem pengelolaan administrasi dan manajemen modern yang kondusif bagi tereleminirnya kasus korupsi di tubuh umat Islam.
Hal ini berlaku bagi amal usaha yang dimiliki umat/ormas Islam lainnya. Dengan demikian, budaya audit serta sistem pengelolaan dana infak, zakat dan shadaqah, sudah saatnya dibenahi secara accountable, tansparan dan amanah. Perintah agama Islam kepada umat Islam untuk selalu memakmurkan masjid harus diperluas, dari sekedar meramaikan shalat jamaah belaka menjadi memakmurkan dalam arti menjaga kemakmuran masjid dari bahaya tindak pidana korupsi. Dengan menerapkan budaya audit serta sistem administrasi dan manajemen modern Islami maupun upaya maksimalisasi penggalian dan pendistribusian dana umat ke sasaran yang tepat, ini berarti umat sudah memperluas pemaknaan tentang memakmurkan masjid itu sendiri. Sistem  manajemen masjid – termasuk amal usaha umat Islam lainnya – yang menggunakan teori ikhlas tradisional – yang cenderung bersifat pasif – konsumtif. Hal ini sudah saatnya ditransformasikan ke dalam sistem manajemen ikhlas professional yang aktif –  produktif.
Dengan demikian masjid telah turut serta dalam mereduksi adanya peluang-peluang bagi tindak pidana korupsi sekaligus mendistribusikan hartanya ke masjid, yang secara jangka panjang akan berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan bagi kaum dlu’afadan mustad’afin di masyarakat sekitar masjid. Badan komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid (BKPRM) serta Dewan Masjid Indonesia (DMI) bisa mempelopori potensi masjid yang ada dewasa ini, bersama-sama dengan ormas Islam lainnya.



PENUTUP
Korupsi adalah salah satu permasalahan utama yang di berbagai dunia termasuk Indonesia dan daerah-daerahnya. Korupsi yang terjadi tidak hanya menyebabkan kemiskinan tetapi juga menyebabkan keterbelakangan dan ketertinggalan dalam suatu negara. Mayoritas korupsi terjadi di negara berkembang berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International.org pada tahun 2012. Lalu, pada laporan tahunan Government Watch tahun 2012 menyebutkan bahwa sebanyak 3000 anggota legislatif DPR RI/DPRD terbukti terlibat tindak pidana, yang 1200 diantaranya tindak pidana korupsi.
Skandal kasus korupsi yang terjadi di Indonesia pun sudah menjalar ke pemerintahan daerah, seperti beberapa kasus korupsi yang terjadi di provinsi Banten pada Oktober 2012 lalu tentang kejadian lahan kawasan Sistem Pertanian Terpadu (Sitandu), pada 5 Maret 2013 yaitu dua orang dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 22 Maret 2013 kerugian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada pembebasan lahan Pemerintahan kabupaten (Pemkab) Serang, dan masih banyak kejadian lainnya yag terjadi di provinsi Banten. Kemudian tercatat pula peringkat korupsi yang terjadi di provinsi Banten pada tahun 2011, dengan total kerugian dalam korupsi Rp 20.141.570.000 (207 kasus) sehingga provinsi Banten menempati peringkat ke-25 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.
Dari banyaknya kerugian akibat korupsi yang telah terjadi di Indonesia, maka perlu melakukan upaya strategi, pencegahan dan prospek pemberantasan korupsi dengan semangat tinggi untuk terus melakukan pendekatan-pendekatan keagamaan dan pendidikan, sosial – sosial budaya, dan upaya lainnya. Tapi semua ini harus dibekali pengetahuan yang komprehensif tentang korupsi, sebab dikhawatirkan upaya yang dilakukan tidak optimal. Oleh sebab itulah mengapa pemberantasan korupsi harus menggunakan metode  yang tepat sehingga para “pejuang antikorupsi” harus benar-benar memahami korupsi.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Buchan, Bruce Alexander dan Lisa Hill. 2007. “From Republicanism to Liberalism: Corruption and Empire in Enlightenment Political Thought,” dalam Perdana, Ari A. (ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] Eastery, William. 2001. “An Elusive Quest for Growth,” dalam Perdana, Ari A. (ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[3] Mallaby, Sebastian. 2004. “The World’s Banker: A Story of Failed States, Financial Crises, and the Wealth and Poverty of Nations,” dalam Ari A. (ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[4] Sulaiman, Fatah. 2013. Hitam Putih Proses Politik dan Demokrasi Kita, Bedah Buku Demokrasi, Islam dan Kebantenan, 2, 1-5.
[5] Rieffel, Lex dan Dharmasaputra, Karaniya. 2009. Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah. Jakarta: Freedom Institute.
[6] Headline. 2012. Terdakwa Korupsi Sitandu Banten Rp 67 Miliar oleh MA Dihukum 5 Tahun Penjara, Sebelumnya oleh Pengadilan Banten 2 Tahun, [online], available: http://www.fesbukbantennews.com/2012/10/terdakwa-korupsi-sitandu-banten-rp67-miliar-oleh-ma-dihukum-5-tahun-penjara-sebelumnya-oleh-pengadilan-banten-2-tahun/ [23 Maret 2013].
[7] Korupsi, Jejak. 2013. Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Rp 49 Miliar, Dosen Untirta Dijebloskan ke Penjara, [online], available: http://www.fesbukbantennews.com/2013/03/jadi-tersangka-dugaan-korupsi-rp49-miliar-dosen-untirta-dijebloskan-ke-penjara/ [23 Maret 2013].
[8] Headline. 2013. Yasser: Kerugian Pembebasan Lahan Puspemkab Serang Rp 80 Miliar, [online], available: http://www.fesbukbantennews.com/2013/03/yasser-kerugian-pembebasan-lahan-puspemkab-serang-rp80-miliar/ [23 Maret 2013].

[9] Sholeh, Muhammad. 2012. Ranking provinsi terkorup di Indonesia versi Fitra, [online], available: http://www.merdeka.com/peristiwa/ranking-provinsi-terkorup-di-indonesia-versi-fitra.html [23 Maret 2013].

[10] http://www.merriam-webster.com/thesaurus/corruption?show=0&t=1364366223 [27 Maret 2013].

[11] Langseth, Peter et al. 1997. “The Role of National Interity System in Fighting Corruption,” dalam Wijayanto. (ed.) Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[12] Alatas, Syed Hussein. 1975. The Sociology of Corruption, ed. 2. Singapore: Delta Orient Pte. Ltd.
[13] Mannan, M. Abdul. 1986. Islamic Economics; Theory and Practice. Cambride: Houder and Stoughton Ltd.
[14] Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1991. “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction,” dalam Abul Hasan M. Sadeq et al. (ed.) Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.
[15] Kholis, Nur. 2006. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam, XVI, 162-179.
[16] Al-Syatibi (t.t.), Al-Muwafaqat fi Usul Al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.
[17] Zarqa’, Anas. 1989. “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (ed.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.
[18] Madjid, Nurcholish. 1998. “Konsep Pengertian Akhlak Bangsa”, dalam TIM KAHMI JAYA, Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan.
[19] Tamkin, Joni. 2002. Economic Function of The State: An Islamic Perspective. Jurnal Usuluddin, No. 16, 80-90.
[20] Billah, Ma’sum M. 2003. Institution of Zakat and The Modern Sosial Security System, ed. 2. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers.
[21] Ma’arif, Syafi’i Ahmad. 1996. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
[22] Harjono, Anwar. 1997. Perjalanan Politik Bangsa. Jakarta: Gema Insani Press.
[23] Wijayanto. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[24] Noor, Isran. 2012. Mengurai “Benang Masalah” Otonomi Daerah. Perspektif Media, 4, 8-17.
[25] Muazar. 2012. Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, [online], available: http://muazar.wordpress.com/2012/01/03/strategi-pemberantasan-korupsi-di-indonesia/ [30 Maret 2013].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar