Oleh : Ega Jalaludin.[1]
“intelligence plus character… that
is the goal of true education” (Martin Luther)
Latar
Belakang Pemikiran
Beberapa media yang penulis baca
beberapa hari belakangan banyak yang membahas tentang pembangunan karakter. Ini
tidak lain adalah reaksi dari terjadinya pertikaian tawuran pelajar di Jakarta
beberapa waktu lalu yang mengakibatkan korban jiwa. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa pembangunan karakter sangat penting dan menjadi pekerjaan
rumah yang sangat besar bagi negara tercinta ini.
Pembangunan karakter dan jati diri
bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan
pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral,
dan budi pekerti seperti tertuang dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi dasar pijakan
utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem pendidikan
nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab[2].
Tujuan pendidikan nasional jelas
telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan
jati diri bangsa. Namun, penyelenggaraan pendidikan telah mengalami degradasi
yang sangat mengkhawatirkan, di mana nilai-nilai
kearifan lokal telah terbungkus oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan pribadi
intelektual menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan
dalam menempuh pendidikan, dan upaya penyeragaman
kemampuan telah membelenggu tumbuh dan berkembangnya keragaman kemampuan
sebagai pencerminan beragamnya kekayaan budaya bangsa. Akibatnya, menipisnya tatakrama, etika,
dan kreatifitas anak bangsa menjadi fenomena yang perlu mendapat perhatian
serius dalam menata pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu
pendidikan budaya dan karakter bangsa dipandang sebagai solusi cerdas untuk
menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian unggul, berakhlak mulia,
dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesian secara menyeluruh. Namun,
hakekat pendidikan budaya dan karakter masih menyisakan tanda tanya yang begitu
dalam, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan budaya dan karakter itu? Mengapa
pentingnya pendidikan budaya dan karakter, dan bagaimana mengimplementasikan
dalam konteks pendidikan?
Sarasehan nasional tentang
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diselenggarakan pada
tanggal 14 Januari 2010 diharapkan mampu menjawab berbagai pertanyaan tersebut
atau paling tidak menjadi modal kolektif bagi pengambil kebijakan untuk
merumuskan sejumlah konsep dasar pendidikan budaya dan karakter bangsa[3].
Pentingnya Pendidikan
Karakter Bangsa[4]
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi
ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap
akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan
tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian
atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan
berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence
plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang
berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek
degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran
suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut adalah; meningkatnya kekerasan pada
remaja, penggunaan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer group (rekan
kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya penggunaan narkoba,
alkohol dan seks bebas, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos
kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung
jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, serta adanya
saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing
dari kesepuluh tanda tersebut tampaknya sedang menghinggapi negeri ini.
Dari kesepuluh tanda-tanda tersebut, kita melihat aspek yang kesembilan yakni
membudayanya ketidakjujuran tampaknya menjadi persoalan serius di negeri
ini. Kejujuran seolah-olah telah manjadi barang langka.
Atas dasar itulah maka pendidikan karakter
menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya
bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam.
Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa
ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis
dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan,
karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai
luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis;
keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong
royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan
dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter
toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis
dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab
pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan
feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan
menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan.
Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena
dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan,
maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak
usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas
(golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan
karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi
pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan
karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua
yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan
karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah,
terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang
dalam filosofi Jawa disebut digugu lan
ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang
berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dampak Pendidikan Karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan
akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini.
Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh
sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education
Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr.
Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan
motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang
menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat
dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al,
2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif
kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada
sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor
resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi
pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan
bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan
seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi,
dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar,
bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini
sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan
terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter
sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan
Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi
pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada
pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter
ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar
nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai
nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar